Selasa, 01 April 2014

Politik Etis


BAB 1
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Politik etis sebagai suatu kebijakan baru yang diperjuangakan oleh golongan liberal dan sosial demokrat yang menginginkan adanya suatau keadilan yang di peruntukan bagi Hindia-Belanda yang telah begitu banyak membantu dan meningkatkan defisa dan kemakmuran bagi pemerintahan Belanda. Awal politik etis di mulai ketika Ratu Wilhemina I diangkat sebagai ratu baru di Negeri Belanda pada tahun 1898, di mana dalam pernyataannya ia mengungkapkan bahwa pemerintahan Belanda berhutang moril kepada Hindia-Belanda dan akan segera dilakukan policy mengenai kesejahteraan di Hindia-Belanda, yang kemudian di buat tim penelitian untuk keadaan di Hindia-Belanda. Pernyataan itulah yang kemudian di kenal dengan istilah politik etis meskipun makna dan sejarah istilah tersebut tidak hanya sebatas atas kejadian tersebut, dan diantara tokoh-tokoh pencetus politik etis adalah van Deventer, van Kol, dan yang paling terkenal adalah Abendanon sebagai representasi dari politik etis.

1.2. Tujuan







BAB II
PEMBAHASAN
II.1.1 Latar Belakang Sejarah
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUNooX7kPOg2UjJuMj8C_xn7ZX70DgAjPFHZ1nUAGH7q5ax3fTPMPmFb99LwGfmOCjpubHj2OzBnTHnfC6F9_qA99SWPfhFvaMIu_yUBI7gJ4DqUR2UCTbQ8BZGIz4TeJBwJBylKetUcY/h120/ThumbPolitik.jpg
Kita mengetahui bahwa penjajahan atau ekspansi orang eropa di Indonesia sangatlah menyengsarakan penduduk pribumi, dimana orang eropa telah banyak memonopoli perdagangan  Indonesia, mulai dari inggris, belanda yang memanfaatkan Indonesia sebagai lahan untuk pemasukan negaranya sendiri tanpa memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang  memprihatinkan. Tidak hanya sebatas itu, orang eropa juga jelas mengeksplorasi dan mengeruk sumber daya alam Negara jajahanya dengan memaksakan penduduk pribumi untuk menuruti apa yang menjadi keinginan bangsa barat, seperti halnya menanam tanaman ekspor (tebu, teh, kopi dll).
Setelah dominasi monopoli inggris berakhir di Indonesia, maka kemudian tampil belanda yang menggantikan inggris sebagai penguasa yang mengatur Negara jajahannya sejak 1816. Dengan kedatangan belanda tersebut menjadikan rakyat Indonesia dihisap dan dipaksa bekerja dinegeri sendiri, untuk memaksimalkan penguasaan dan pengerukan SDA Indonesia sampai kedasar-dasarnya, kolonial belanda membangun sekolah yang bertujuan untuk melahirkan tenaga ahli baru yang nantinya kelak akan dipekerjakan di perusahaan belanda. Tetapi sebelumnya pada tahun 1819 belanda juga menderikan sekolah tetapi hanya untuk warga belanda dan pejabat tinggi saja. Kemudian tahun 1871, seiring dengan kemenangan kaum liberalis di parlemen belanda, menuntut pendidikan di hindia belanda juga mencakup rakyat pribumi, kemudian dibentuk UU agraria yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada modal swasta belanda masuk ke Indonesia seperti dengan di buatnya Agrarische Wet.
Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) antara lain karena kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta. UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat diserahkan. UU ini dapat dikatakan mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda. Tujuan dari UU tersebut adalah Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing. Memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia seperti dari Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan lain-lain. Serta Membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Ternyata dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870 yang menjadi alat pemodal asing untuk menyewa tanah seluas dan selama mungkin yang akhirnya Sistem ini membawa kemunduran bagi kesejahteraan pribumi. Yang kemudian Munculah gagasan etis di kancah pertanian Pemerintah Belanda.
Sebelumnya telah di jelaskan bahwa sebelum masuk pada pembahasan mengenai politik etis terlebih dahulu perlu di bahas era sebelum politik etis tersebut di realisasikan, dimana akan ada keterkaitan yang sifatnya lebih historis kronologis. Maka kalau di buat suatu batasan waktu untuk masuk dalam politk etis akan terlihat lebih jelas:
·         Era politik konservatif (1800-1848) : era dimana sistem kumpeni dan merkantilisme di gunakan secara total, dimana eksploitasi negeri jajahan adalah usaha utama pemerintahan Belanda. Eksploitasi SDA alam merupakan hal yang harus dilakukan untuk kemakmuran Negara induk tidak perduli apakah penduduk Negeri jajahan makan atau tidak yang terpenting adalah keuntungan bagi Negeri Belanda terutama untuk pembayaran hutang.
·         Era culturstelsel (1830-1870) : era dimana penjajahan dilakukan dengan mengikuti tradisi lokal yang ada, hanya terjadi perubahan dimana di lakukan penyerahan pajak tanah dengan uang namun di ganti dengan pemberian hasil perkebunan yang dapat di ekspor dan laku di pasaran internasional. Dilakukan dengan cara penanaman secara paksa produk yang laku di pasaran internasional seperti kopi, teh dan tebu. Keuntungan yang berlipat-lipat adalah hal yang tak bisa terelakan lagi, bahkan tahun 1831 dan 1877 pemerintahan Belanda menerima keuntungan sebesar 825 gulden. Van Den Bosch adalah orang yang berada di balik politik tanam paksa ini yang melakukan eksploitasi cara baru untuk keuntungan negeri Belanda.
·         Era politik liberal (1850-1870) : era dimana paham mengenai leberalisme mulai tumbuh di Eropa dan mempengaruhi Belanda berawal dari Revolusi di Amerika dan Revolusi Perancis semakin memantapkan paham tersebut. Dimana kapitalisme mulai berkembang dan meruntuhkan politik merkantilisme yang selama ini berkembang di Eropa, pasar bebas, pendirian pabrik-pabrik, jalan-jalan raya dan kereta api, bank-bank dan kebun-kebun di Indonesia adalah implikasi nyata dari politik liberal ini.





1.2. Konsep Politik Liberal

Politik kolonial liberal di Eropa pada awalnya merupakan cerminan antara perbedaan dalam bidang politik yang berhaluan totalitarisme (fasisme dan komunisme) dan liberalisme (sosialisme dan kapitalisme). Hubungan timbal balik antara ekonomi pasar dengan liberalisasi politik yang relatif bisa dilihat pada studi perbandingan mengenai negara-negara fasis maupun komunis. Doktrin liberal jauh lebih mengutamakan masyarakat dari pada negara. Dalam doktrin liberal klasik, “masyarakat pada dasarnya dianggap mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan negara baru ikut campur tangan hanya kalau usaha-usaha masyarakat yang bersifat sukarela menemui kegagalan”. Dengan demikian, teori Negara sebagai alat menempatkan negara pada kedudukannya sebagai pelengkap. Sejauh individu dapat menjalankan kehidupannya tanpa Negara, kaum liberal menentang keberadaan negara bahkan jika negara dapat melakukan yang lebih baik dari pada individu.
Selain itu, konsep hukum dibalik hukum secara langsung diturunkan dari pandangan kosesual Negara dan masyarakat dalam liberalisme klasik. Masyarakat dipahami sebagai himpunan bermacam-macam perkumpulan sukarela, dan negara itu juga pada intinya dianggap sebagai badan yang diorganisasikan secara sukarela, karena otoritasnya diperoleh atas dasar persetujuan mereka yang diperintah. Liberalisme selalu menganut pemikiran bahwa hubungan antara Negara dan masyarakat atau antara pemerintah dan individu pada akhirnya ditentukan oleh hokum yang kddudukannya lebih tinggi daripada hukum negara.
Paham kebebasan liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa dan dianggap sebagai paham yang paling sesuai untuk diterapkan oleh negara-negara yang menjunjung tinggi kebebasan. Liberalisme muncul sebagai sikap pendobrakan terhadap kekuasaan absolut dan didasarkan atas teori rasionalistis yang umum dikenal sebagai Social Contract. Sejak tahun 1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat erat.  Gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan; setiap individu harus diberi akses seluas mungkin untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa ada intervensi dan campur tangan dari negara.   Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diperlukan lagi. Bila liberalisme awal (early liberalism) lebih menekankan pada hak-hak politik, maka sejak tahun 1900-an, liberalisme telah mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan, termasuk di dalamnya liberalisasi pemikiran.


·         Era transisi dari politik liberal masuk ke politik etis (1870-1900) : era dimana Belanda sebagai Negara yang awalnya penganut paham perekonomian merkantilisme beralih dan mengkristal menjadi politik liberal dan kapitalisme modern dengan penggunaan teknologi-teknologi yang gaungi oleh revolusi industri di Inggris dan membolehkan padagang dan saham swasta masuk ke Indonesia dan di berlakukanya politik pintu terbuka, hal ini terlihat semakin kuat dengan di bukanya Terusan Suez (1870) sebagai awal imperialisme modern masuk ke kawasan Asia dengan perekonomian kapitalismenya disertai oleh penggunaan teknologi mesin kapal uap yang sebagai hasil dari revolusi Industri di Inggris.
·         Era politik etis itu berlangsung kurang lebih 1900 : dimana gagasan mengenai hutang balas budi mulai sudah berkembang dimana tiga bidang utama yang di perioritaskan di realisasikan (Irigasi, Edukasi dan Emigrasi) untuk kesejahteraan Indonesia.






1.3. Latar Belakang Sosial, Politik dan Ekonomi
Pada awal sebelum dilakukannya politik etis keadaan sosial dan ekonomi di Indonesia begitu buruk dan jauh dari kata sejahtera terutama untuk penduduk pribumi yang bukan dari kalangan bangsawan. Pergantian penguasaan dan kebijakan bukan menjadikan bangsa Indonesia semakin membaik justru sebaliknya setelah keluarnya VOC dari Indonesia 1799 dengan politik ekspliotasinya hal itu berganti ke tangan Inggris di bawah Raffles yang semakin tidak memperhatikan kesejahteraan bangsa Indonesia, ke beralih ke Deandles dengan poltik kerja paksanya semakin membuat penduduk menderita, jumlah penduduk yang melek huruf hanya 1% dari seluruh jumlah penduduk yang ada. Pendidikan bukan menjadi semakin baik justru sebaliknya. Karena kesejahteraan dapat di laksanakan apabila jumlah orang yang melek huruf semakin banyak. Dari bidang ekonomi tanah-tanah yang luas masih dikuasi oleh para tuan tanah yang dimana rakyat biasa hanya sebagai penyewa dan pekerja saja. Karena politik yang digunakan pada saat itu adalah politik konservatif dimana merkantilisme dan eksploitasi merupakan hal yang begitu di pentingkan oleh pemerintah kolonial, timbah pembayaran pajak dan sewa yang begitu besar yang semakin memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia. Namun setelah di berlakukanya politik liberal 1870 pola kesejahteraan berubah terutama untuk pemerintah Belanda di pasar bebas dan politik pintu terbuka dilaksanakan yang berakibat pada surplus produksi perkebunan seperti gula 2 kali lipat, seperti tahun 1870 produksi mencapai 152.595 ton dan pada tahun 1885 di Jawa saja produksi gula mencapai 380.346 ton, selain gula produksi tembakau dan teh pun mancapai surplus, namun hal ini hanya untuk keuntungan pemerintah Kolonial.



1.4. Penyampaian Kehendak Politik Kaum Liberal
Gagasan yang menyuarakan semangat kebangsaan dan kemerdekaan untuk lepas dari ketertindasan tidak muncul secara tiba-tiba. Menjelang berakhirnya Culturt Stelsel tahun 1870,berkembang gagasan dan emansipasi dan tuntutan otonomi pemerintahan untuk lepas dari Negara induk, kerajaan belanda. Gagasan tersebut muncul dari kontradiksi yang terjadi dalam pemahaman modern atas pengelolaan Negara di Hindia Belanda. Cultur Stelsel dan proses industrialisasi di Hindia Belanda menjadi sumber keuangan bagi kehidupan Sosial-Ekonomi kerajaan Belanda. Yang terlupakan adalah pembangunan dan kesejahteraan di tanah jawa. Muncullah permasalahan sosial yang menyangkut kesejahteraan dan kemiskinan kaum bumiputera. Sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah colonial menjadi artikel yang terus muncul di media cetak, terutama yang terkait dengan pengelolaan anggaran keuangan dan kebijakan perekonomian modern.
Pada awalnya gagasan ini hanya bergema di kalangan orang0orang Eropa. Hak suara yang dimiliki setiap orang Belanda., setibanya di Hindia Belanda akan hilang. Penyampaian kehendak politik hanya dapat disalurkan melalui surat permohonan dan sering kali tidak ada hasilnya. Di Hindia Belanda, berturut-turut, hirarki keputusan politik berada di tangan pemerintahan Batavia (departemen dalam negeri), Bogor (kediaman Gubernur Jenderal), lalu Den Haag (perlemen Belanda). Hal ini disebabkan adanya peraturan di pasal 111 Regerings Reglement yang melarang setiap perkumpulan, perserikatan, dan rapat yangbersifat politik.
Kritik serta penentangan dimasa kebijakan Cultur Stelsel tercetus di negeri Belanda. Pada tahun 1848, konstitusi liberal dinegeri Belanda diberikan parlemen Belanda sebuah peranan yang cukup berpengaruh atas urusan-urusan daerah jajahan segera kelompok oposisi bersatu diparlemen mengajukan tuntutan perubahan di Hindia Belanda. Mereka terdiri dari kelompok liberal daan sosial Demokrat. Tuntutan kaum liberal berpijak pada kepentingan kelas menengah Belanda yang tumbuh besar dari keuntungan perekonomian Belanda yang diperoleh dari Hindia Belanda. Tuntutan itu berupa pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial secara drastis, pembebasan terhadap batasa-batasan perusahaan di jawa, dan diakhirinya dengan keja paksa dan penindasan terhadap orang-orang jawa di sunda. Sementara bagi kaum sosial-demokrat di parlemen, prinsipnya adalah bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk; evolusi ekonomi; serta pertanggung jawaban moral kepada kaum bumiputera.
Pada tahun 1860, seorang mantan pejabat kolonial bernama Eduard Douwes Dekker menerbitkan novel berjudul Max Havelaar di Belanda. Novel tersebut menceritakan tentang penindasan dan perilaku kurupsi yang dilakukan pemerintah kolonial beserta aparatnya di jawa. Max Havelaar menjadi senjata yang cukup berpengaruh untuk menyampaikan gagasan anti –penindasan dikalangan orang-orang Eropa. Tulisan tentang tuntutan pemenuhan kewajiban moral Belanda terhadap Hindia pun bermunculan di media massa Belanda. Salah satunya adalah tulisan Robert Fruin dalam De Gids tahun 1865 yang muncul berupa artikel berjudul “Nederland’s rechten en verplichtingen ten opzichten van Indie”. Dalam artikel tersebut, untuk pertamakalinya, praktik saldo laba dalam Cultur Stesel dinyatakan sebagai kebijakan pemerintah yang berlawananan dengan hukum kedaulatan modern (Belanda). Artikel ini kemudian mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda yyang mulai bergerak dalm lingkup Politik Etis. Sa;ah satu tokoh terpenting politik etis yaitu Mr. P. Broosooft.
Berbagai pemikiran di seputar tuntutan kaum liberal di negeri Belanda hadir secara berkala di Hindia Belanda lewat surat kabar De Locomotief. Surat kabar yang berpusat di Semarang ini berdiri pada tahun 1863 dan menjadi harian pada tahun 1870. De Locomotief merupakan media pertama yang terus menerus menyuarakan politi etis terhadap negar jajahan dan pemerintah otonom.
P.Broosooft, redaktur utama De locomotief  merupakan bagian dari jringan individu yang kemudian mengenal gagasan balas budi/etis baik yang berada di Hindia maupun yang berada di Belanda, seperti Van Deventer, J.H.Abendanon, A.W.J. Idenburg, Van Limburg Stirum, N.P. Van den Berg, Snouck Hurgronje, H.H. Van Koll, dan lain-lain. Secara individual jaringan etis melakukan diseminasi gagasan dalam berbagai bentuk tanpa adanya suatu ikatan organisasi yang ideologis.
Ada dua momentum yang menandai bergemanya politik etis pada kebijakan kolonial Hindia Belanda
·         Pertama, artikel Van Deventer yang muncul di De Gids tahun 1899, berjudul “Een Eerschuld”
·         Kedua, sebuah brosur politik yang ditulis Broosooft yang berjudul “De Etische Koers in Koloniale Politiek” (haluan etis dalam politik kolonial), diterbitkan di Belanda padda tahun 1901 .


II.2.1 Pengertian Politik Etis
            Politik Etis atau politik balas budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan kaum bumiputera. Pada bulan januari 1901, didepan parlemen Belanda dalam sebuah pidato awal tahun Ratu Wilhemina mengumumkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Mindere Welvaarts-Commissie (komisi untuk penyelidikan keadaan kurang sejahtera) sekaligus pengesahan kebijakan Politik yang diterjemahkan oleh Gubernur Jenderal Idenburg menjadi program pendidikan, irigasi, dan emigrasi. Pada tanggal 17 September 1901, ratu menegaskan dalam pidato pembukaan parlemen Belanda bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan utang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhemina menuangkan panggilan moral tadi kedalam kebijakan politik etis, dinyatakan dalam wujud Irigasi, migrasi dan pendidikan. Pernyataan ratu inilah yang secara resmi dianggap sebagai awal pelaksanaan politik etis (Etische Politiek) di Hindia-Belanda. Nama itu berasal dari tulisan Pieter Brooshoft, Die Etische Koers In de Koloniale Politiek, yang muncul pda tahun 1901. Dalam tulisannya kemiskinan bumi putra tidak hanya terbatas di pulau jawa, tapi juga seluruh Hindia-Belanda.


II.2.2 Penerapan Politik Etis Di Indonesia
Seiring dengan hal tersebut, gerakan-gerakan humanis yang berkembang di negeri Belanda  mendorong diberlakukannya politik balas budi terhadap bangsa Indonesia. Desakan parlemen kepada pemerintah Belanda untuk menghapus sistem tanam paksa merupakan awal dari kemenangan terhadap strategi politik yang dijalankan kaum liberal dalam rangka mencapai kepentingannya di bumi Indonesia.
Sejak saat itu, modal swasta asing diberikan peluang untuk mewarnai berbagai bidang usaha, terutama pada perkebunan-perkebunan besar, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Pembukaan perkebunan-perkebunan yang didominasi modal asing, seperti Belanda dan negara-negara Eropa lainnya memungkinkan dikeluarkan Undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870.  Dalam realisasinya Undang-undang Agraria itu pun tidak membuat penduduk pribumi menjadi terbebas dari penderitaan. Bahkan sebaliknya, penduduk pribumi hanya menjadi alat pihak pemilik modal untuk mencapai keuntungan dan tidak memperbaiki nasib rakyat Indonesia dari keadaan sebelumnya. Kondisi yang tidak seimbang tersebut, pada akhirnya mendapat perhatian dari beberapa tokoh Belanda seperti Baron van Hoevel, Eduard Douwes Dekker,  dan van Deventer. Tokoh-tokoh Belanda tersebut, kemudian mengusulkan kepada pemerintah Kerajaan Belanda untuk memperhatikan nasib rakyat Indonesia.
Salah satu politik balas budi tersebut adalah program yang dikemukakan oleh Mr. C. Th. Van Deventer. Gagasannya yang diterbitkan oleh majalah de Gids pada tahun 1899 memaparkan perlunya bangsa Belanda melakukan balas budi terhadap Indonesia. Balas budi dilakukan dengan jalan membantu bangsa Indonesia  untuk mencerdaskan dan memakmurkan rakyatnya.


Berikut ini Isi Trilogi van Deventer antara lain:
1)      Irigasi (pengairan),
 yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk. Belanda dikenal mempunyai keahlian dalam bidang teknologi perairan. Laut di Belanda dapat di bendung dan dijadikan daerah perkotaan. Belanda memang terampil dalam hal teknologi dan pengairan. Melalui kebijakan Irigasi, belanda membangun jaringan irigasi yang diperlukan untuk pengairan teknis sawah dan perkebunan yang dibangu Belanda. Kebijakan ini sesungguhnya bukanlah sebagai politi balas budi Belanda, melainkan semaata-mata untuk mengeruk lebih banyak lagi kekayaan dari daerah jajahan.
2)     Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. Perbaikan sosiall yang Nampak mulai ditanggapi anatara lain dalam hal pendidikan. Masalah pendidikan (edukasi) hamper tidak tergarap dan sengaja tidak digarap sebelum politik etis dicetuskan. Hal ini tergambar dalam tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids (1908) sebagai berikut:

“sampai pada waktu-waktu yang terakhir hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyemprnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah”.
            Pelaksanaan politik etis dibidang pendidikan terutama adalah J.H. Abendanon, yang diangkat sebagai direktur pendidikan di Hindia imurpada tahun 1900. Dia dan istrinya banyak memberikan dorongan yang menimbulkan kesadaran kepada para angkatan muda Indonesia, antara lain pemuda Abduul Muis yang belakangan menjadi pimpinan Sarekat Islam(SI). Lewat korespondensi dia berhasil mengobarkan semangat pemikiran Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, yang pada akhirnya merangsang tumbuhnya sekolah-sekolah untuk kalangan wanita di Indonesia sesuai dengan semangat politik Etis, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar selama 3 tahun. kemudian dilanjutkan dengan program Vervolg School (sekolah lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Perbikan sarana pengajaran semacam ini lalu dilanjutkan untuk tahun-tahun selanjutnya, misalnya dinamakan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP pada zaman Belanda, dan program Algemeene Middlebare School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA.
            Volk School digalakkan berdasarkan inisiatif Gubernur Jenderal Van Heutz. Dia menganggap jenis sekolah ini adalah sekolah yang lebih sederhana dan lebih murah. Van Heutz berkenalan dengan asisten-asisten Ambarawa, De bruin Prince, yang mendirikan 100 sekolah diberbagai desa sebagai percobaan. Program pelajarannya meliputi membaca, menulis dan berhitung dalam bahasa jawa.
Keterampilan tangan seperti membuat keranjang, pot, genting dan sebagainya, juga diajarkan. Tempat belajarnya bersifat sementara, yaitu memakai pendapa. Kayu diambil dar hutan yang ditebang untuk penanaman kopi. Guru-gurunya diambil dari kalangan penduduk sendiri, yang gaji mereka berupa sebidang tanah untuk digarap. Anak-anak duduk di lantai, sedangkan bagi nak-anak yang memiliki kewajiban menggembala kerbau, maka selama belajar (antar pukul 09.00-12.00 dan 13.00-15.00) kerbau-kerbau yang digembalakan dapat dilepas di sebidang tanah di sebelah tempat belajar yang dipagari. Dengan memperhatikan gambaran tersebut maka dapat dibayangkan betapa sederhananya persekolahan yang disebut Volk School tersebut.
            Pada tahun 1905, tahun pemilihan di Belanda, Van Deventer dan kawan-kawannya menang dalam parlemen Belanda. Merekapun menjadi pemeran utama dalam pembentukan cabinet seorang anggota partai Demokral Liberal, D. Fock menjadi menteri jajahan. Dia bersedian memajukan dan meluaskan pendidikan bagi para pribumi.
Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang akhirnya politik etis ini mulai dijalankan d Indonesia menurut tafsiran dan kemauan pemerintah kolonial Belanda. Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda.  Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut:



1.      Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

2.      Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah Pendidikan   yang   dibuka untuk seluruh rakyat, hanya  diperuntukkan   kepada   anak-anak   pegawai   negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.

3.      Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain.
a. Diskriminasi kelas sosial
     walaupun sekolah-sekolah tersebut tampaknya cukup baik, tapi dalam praktiknya, sekalipun tidak secara langsung, terdapat kecenderungan diskriminasi kecenderungan itu tampak dalam cara menjaring anak sekolah. caranya ialah dengan memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal dan juga sering diutamakan bagi keluarga yang memiliki ketuturunan darah biru (ningrat, keraton) atau dari kalangan para "priayi" (pangreh praja atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda). itulah sebabnya, banyak anggota masyarakat yang mampu atau kaya yang dapat menyekolahkan anak-anaknya kejenjang pendidikan yang cukup tinggi. bagi anggota masyarakat yang kurang berpunya atau miskin terpaksa tidak dapat memasukkan anak-anaknya kesekolah atau paling tidak terpaksa mengambil alternatif lain, misalnya memasukkan anak-anaknya ke pondok pesantren.

Penyimpangn Sosial
b. Pendidikan menghasilkan tenaga birokrat dan elite baru.
     Tujuan penyelenggaraan sekolah yang dilakukan Belanda tersebut bukan semata-mata untuk memberdayakan pendidikan masyarakat, tapi juga untuk menghasilakan tenaga birokrat agar dapat di rekrut pada jabatan jabatan teknis di perintahan kolonial belanda. sebagai contoh, sejak tahun 1864 Belanda telah memperkenalkan sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah. oleh karena itu, tampak jelas bahwa  bahwa program untuk menciptakan birokrat rendahan cukup menonjol. Pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu sekolah yang dipersiapkan bagi kalangan pribumi untuk menjadi pegawai pemerintah.
     Anak anak pribumi yang pernah bersekolah di sekolah sekolah Belanda tidak sedikit yang terpengaruh oleh cara cara hidup kebelanda belandaan dengan segala pariasi hidupnya. oleh karena itu, tidak heran kalau timbul sekelompok elite baru ditengah tengah masyarakat pribumi. Di samping itu, karena tempat tempat pendidikan Belanda itu rata rata terpusat dikota kota, terjadilah urbanisasi kalangan pemuda di pedesaan ke kota kota untuk belajar disana. kota menjadi makin diminati oleh orang orang dari desa.
    Hal yang kurang menguntungkan dari timbulnya elite baru tersebut adalah adanya kebanggaan kalau di sebut Priyayi bagi mereka yang dapat masuk kedalam sistem birokrasi pemerintahan Belanda, sebaliknya masyarkat luas menjadi amat mendambakan status sosial tersebut. tidak jarang pegawai juru ketik dikantor pemerintahan Belanda sudah disebut ndara (bahasa jawa) yang menunjukkan sebutan feodal.

Walaupun pemikiran liberalisme di Hindia-Belanda diawali dengan harapan-harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada akhir abad 19 terlihat jelas bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik dari sebelumnya. Ini didasarkan karena kecenderungan politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya.
Tetapi Lambat laun program politik etis ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi bangsa Indonesia, terutama dalam hal program pendidikan (edukasi). Program pendidikan yang awalnya ditujukan untuk menghasilkan tenaga administratif rendahan, pada akhirnya semakin berkembang. Tidak hanya jenjang pendidikan semakin tinggi, tetapi juga menjangkau spesialisasi bidang pendidikan lainnya seperti kedokteran, keguruan, teknik, pertanian, dan sebagainya. Dengan demikian, masyarakat Indonesia semakin mengenal pola pendidikan Barat yang pada akhirnya menjadi benih-benih pergerakan indonesia menuju kemerdekaan.


Tokoh-tokoh Belanda yang Mewarnai Politik Etis

1. Eduard Douwes Dekker (1820-1887)
Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama “Nusantara” sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari “Tiga Serangkai” pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat. Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik etis ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers) dan Tionghoa.
Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda. Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran ‘Multatuli’. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti “‘Aku sudah menderita cukup banyak’” atau “‘Aku sudah banyak menderita’”; di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan. Max Havelaar bisa jadi buku yang mempengaruhi terlahirnya Politik Etis di Hindia Belanda kelak.
http://www.uniknya.com/wp-content/uploads/2011/05/Multatulivoiceseducation.png
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli (Sumber: voiceseducation)


2. Pieter Brooshooft (1845 – 1921)
Brooshooft adalah seorang wartawan dan sastrawan, yang dikenal sebagai salah satu tokoh Politik Etis. Tahun 1887 Brooshooft mengadakan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa, lalu menuliskan laporan tentang keadaaan yang sangat menyedihkan di Hindia Belanda akibat kebijakan tanam paksa pemerintah. Dia menyampaikan laporan tadi kepada 12 tokoh politisi Belanda terkemuka, disertai lampiran setebal buku yang memaparkan fakta-fakta yang dicatat dan ditandatangani 1255 orang. Laporan itu menuntut harus dibentuk sebuah partai Hindia agar kepentingan Hindia Belanda terwakili di Parlemen. Dilampirkan pula buku Memorie over den toestan in indie (Catatan tentang keadaan di Hindia), yang mengkritik struktur pajak dan mengecam sistem bandar.
Tahun 1904 Brooshooft kembali ke Belanda dalam keadaan kecewa dan putus asa, karena merasa perjuangannya bagi keadilan terhadap pribumi tidak ada hasilnya. Tajuk Rencana yang terakhir ditulis berjudul: Pamitan Dengan Orang Sakit, dimuat pada surat kabar Semarang, De Locomotief, tanggal 31 Desember 1903. Setelah di Belanda, Brooshooft tetap rajin menulis, antara lain sebuah naskah pentas: Arm Java (Kasihan, Pulau Jawa), pada 1906. Naskah ini dianggap memiliki benang merah dengan eksistensi dan riwayat Kartini, sebab di dalamnya ada tokoh Murtinah, puteri seorang Bupati modern yang telah maju pikirannya. Diceritakan Murtinah sering menulis dalam majalah-majalah wanita di Belanda dan mengadakan surat-menyurat dengan teman-teman di negeri itu pula.
http://www.uniknya.com/wp-content/uploads/2011/05/PeterBrooshoftindische-pers.jpg
Pieter Brooshoft (Sumber: indische-pers)

3. Conrad Theodore van Deventer (1857-1915)
Van Deventer dikenal sebagai seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik Etis. Pada sebuah surat tertanggal 30 April 1886 yang ditujukan untuk orang tuanya, Deventer mengemukakan perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi karena mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami Spanyol akibat salah pengelolaan tanah jajahan. Lalu pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman adalah hasil kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda (“Indonesia”), sementara Hindia Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan.
Ketika Deventer menjadi anggota Parlemen Belanda, ia menerima tugas dari menteri daerah jajahan Idenburg untuk menyusun sebuah laporan mengenai keadaan ekonomi rakyat pribumi di Jawa dan Madura. Dalam waktu satu tahun, Deventer berhasil menyelesaikan tugasnya (1904). Dengan terbuka Deventer mengungkapkan keadaan yang menyedihkan, kemudian dengan tegas mempersalahkan kebijakan pemerintah. Tulisan itu sangat terkenal, dan tentu saja mengundang banyak reaksi pro-kontra. Sebuah tulisan lain yang tak kalah terkenalnya adalah yang dimuat oleh De Gids juga (1908) ialah sebuah uraian tentang Hari Depan Insulinde, yang menjabarkan prinsip-prinsip etis bagi beleid pemerintah terhadap tanah jajahannya.
http://www.uniknya.com/wp-content/uploads/2011/05/Theodor_van_Deventerflickr.jpg
Theodor van Deventer (Sumber: flickr)



4.    Jacques Henrij Abendanon (1852-1925)
J.H. Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905. Ia datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900. Ia ditugaskan oleh Belanda untuk melaksanakan Politik Etis. Di bawah Abendanon, sejak tahun 1900 mulai berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah. Pada tahun ini sekolah Hoofdenscholen (sekolah para kepala) yang lama diubah menjadi sekolah yang direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren).
J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A. Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
http://www.uniknya.com/wp-content/uploads/2011/05/Abendoonfacebook.jpg
Jacques Henrij Abendoon (Sumber: facebook)


BAB III
Kesimpulan
Telah diketahui bahwa dasar munculnya politik etis antara lain, berawal dari kemenangan kaum liberalis dalam negeri belanda yang banyak memberikan pengaruhnya terhadap Negara jajahannya atau koloniya, bukti nyata dari keberhasilan kaum liberalis di parlemen belanda adalah dikeluarkannya UU Agraria di Indonesia, yang bentuk nyatanya adalah untuk memberikan hak kepada penduduk pribumi, seiring munculnya agrarisch wet, muncul juga agrarische belsuit sebagai penerapan dari agrarische wet, dimana menentukan domein Negara dalam artian tanah milik pribumi yang tidak bisa dibuktikan dengan kesaksian orang lain misalnya (adat) maka diakui sebagai tanah Negara (colonial belanda).
            Dengan berlakunya agrarische wet, membuka peluang pagi perusahaan asing atau pemodal asing untuk membuka perusahaan perkebunananya di Indonesia dengan cara menyewa kepada penduduk pribumi, ataupun kepada pemerintah penguasa, dalam peraturanya sewa tanah dibatasi maksimal 75 tahun. Secara kasat mata ini dipandang menguntungkan rakyat, dengan asumsi, selain rakyat menyewakan tananhnya kepada pengusaha dan kemudian bekerja di perusahaan belanda mereka mendapat penghasilan yang banyak dan dapat sejahtera, tetapi dalam kenyataannya rakyat semakin menderita, sehingga muncul politik etis yang dimotori oleh van Deventer, (edukasi, irigasi dan emigrasi). Tetapi dalam perjanannya banyak sekali penyimpangan yang terjadi. Ini disebabkan karena dalam pelaksanaannya konsep etis tersebut ditafsirkan sendiri oleh pemerintah belanda.


Prof.Harsono Budi.1999.Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria.Jakara:Djambatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukan komentar anda