BAB
1
Pendahuluan
1.1.Latar
Belakang
Politik etis sebagai suatu kebijakan baru yang
diperjuangakan oleh golongan liberal dan sosial demokrat yang menginginkan
adanya suatau keadilan yang di peruntukan bagi Hindia-Belanda yang telah begitu
banyak membantu dan meningkatkan defisa dan kemakmuran bagi pemerintahan
Belanda. Awal politik etis di mulai ketika Ratu Wilhemina I diangkat sebagai
ratu baru di Negeri Belanda pada tahun 1898, di mana dalam pernyataannya ia
mengungkapkan bahwa pemerintahan Belanda berhutang moril kepada Hindia-Belanda
dan akan segera dilakukan policy mengenai kesejahteraan di Hindia-Belanda, yang
kemudian di buat tim penelitian untuk keadaan di Hindia-Belanda. Pernyataan
itulah yang kemudian di kenal dengan istilah politik etis meskipun makna dan
sejarah istilah tersebut tidak hanya sebatas atas kejadian tersebut, dan
diantara tokoh-tokoh pencetus politik etis adalah van Deventer, van Kol, dan
yang paling terkenal adalah Abendanon sebagai representasi dari politik etis.
1.2.
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
II.1.1 Latar Belakang
Sejarah

Kita mengetahui bahwa penjajahan atau ekspansi orang
eropa di Indonesia sangatlah menyengsarakan penduduk pribumi, dimana orang
eropa telah banyak memonopoli perdagangan
Indonesia, mulai dari inggris, belanda yang memanfaatkan Indonesia
sebagai lahan untuk pemasukan negaranya sendiri tanpa memperhatikan kondisi sosial
masyarakat yang memprihatinkan. Tidak
hanya sebatas itu, orang eropa juga jelas mengeksplorasi dan mengeruk sumber
daya alam Negara jajahanya dengan memaksakan penduduk pribumi untuk menuruti
apa yang menjadi keinginan bangsa barat, seperti halnya menanam tanaman ekspor
(tebu, teh, kopi dll).
Setelah dominasi monopoli inggris berakhir di
Indonesia, maka kemudian tampil belanda yang menggantikan inggris sebagai
penguasa yang mengatur Negara jajahannya sejak 1816. Dengan kedatangan belanda
tersebut menjadikan rakyat Indonesia dihisap dan dipaksa bekerja dinegeri
sendiri, untuk memaksimalkan penguasaan dan pengerukan SDA Indonesia sampai
kedasar-dasarnya, kolonial belanda membangun sekolah yang bertujuan untuk
melahirkan tenaga ahli baru yang nantinya kelak akan dipekerjakan di perusahaan
belanda. Tetapi sebelumnya pada tahun 1819 belanda juga menderikan sekolah
tetapi hanya untuk warga belanda dan pejabat tinggi saja. Kemudian tahun 1871,
seiring dengan kemenangan kaum liberalis di parlemen belanda, menuntut
pendidikan di hindia belanda juga mencakup rakyat pribumi, kemudian dibentuk UU
agraria yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada modal swasta belanda
masuk ke Indonesia seperti dengan di buatnya Agrarische Wet.
Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria
(Agrarische Wet) antara lain karena kesewenangan pemerintah mengambil alih
tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju
dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus
keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah
perusahaan swasta. UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat.
Tanah penduduk dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat
diserahkan. UU ini dapat dikatakan mengawali berdirinya sejumlah perusahaan
swasta di Hindia-Belanda. Tujuan dari UU tersebut adalah Melindungi hak milik
petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing. Memberi peluang kepada
pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia seperti dari Inggris,
Belgia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan lain-lain. Serta Membuka kesempatan
kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Ternyata dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria
1870 yang menjadi alat pemodal asing untuk menyewa tanah seluas dan selama
mungkin yang akhirnya Sistem ini membawa kemunduran bagi kesejahteraan pribumi.
Yang kemudian Munculah gagasan etis di kancah pertanian Pemerintah Belanda.
Sebelumnya telah di jelaskan bahwa sebelum masuk
pada pembahasan mengenai politik etis terlebih dahulu perlu di bahas era
sebelum politik etis tersebut di realisasikan, dimana akan ada keterkaitan yang
sifatnya lebih historis kronologis. Maka kalau di buat suatu batasan waktu
untuk masuk dalam politk etis akan terlihat lebih jelas:
·
Era
politik konservatif (1800-1848) : era dimana
sistem kumpeni dan merkantilisme di gunakan secara total, dimana eksploitasi
negeri jajahan adalah usaha utama pemerintahan Belanda. Eksploitasi SDA alam
merupakan hal yang harus dilakukan untuk kemakmuran Negara induk tidak perduli
apakah penduduk Negeri jajahan makan atau tidak yang terpenting adalah
keuntungan bagi Negeri Belanda terutama untuk pembayaran hutang.
·
Era
culturstelsel (1830-1870) : era dimana penjajahan
dilakukan dengan mengikuti tradisi lokal yang ada, hanya terjadi perubahan
dimana di lakukan penyerahan pajak tanah dengan uang namun di ganti dengan
pemberian hasil perkebunan yang dapat di ekspor dan laku di pasaran
internasional. Dilakukan dengan cara penanaman secara paksa produk yang laku di
pasaran internasional seperti kopi, teh dan tebu. Keuntungan yang
berlipat-lipat adalah hal yang tak bisa terelakan lagi, bahkan tahun 1831 dan
1877 pemerintahan Belanda menerima keuntungan sebesar 825 gulden. Van Den Bosch
adalah orang yang berada di balik politik tanam paksa ini yang melakukan
eksploitasi cara baru untuk keuntungan negeri Belanda.
·
Era
politik liberal (1850-1870) : era dimana paham
mengenai leberalisme mulai tumbuh di Eropa dan mempengaruhi Belanda berawal
dari Revolusi di Amerika dan Revolusi Perancis semakin memantapkan paham
tersebut. Dimana kapitalisme mulai berkembang dan meruntuhkan politik
merkantilisme yang selama ini berkembang di Eropa, pasar bebas, pendirian
pabrik-pabrik, jalan-jalan raya dan kereta api, bank-bank dan kebun-kebun di
Indonesia adalah implikasi nyata dari politik liberal ini.
1.2. Konsep Politik Liberal
Politik
kolonial liberal di Eropa pada awalnya merupakan cerminan antara perbedaan
dalam bidang politik yang berhaluan totalitarisme (fasisme dan komunisme) dan
liberalisme (sosialisme dan kapitalisme). Hubungan timbal balik antara ekonomi
pasar dengan liberalisasi politik yang relatif bisa dilihat pada studi
perbandingan mengenai negara-negara fasis maupun komunis. Doktrin liberal jauh
lebih mengutamakan masyarakat dari pada negara. Dalam doktrin liberal klasik,
“masyarakat pada dasarnya dianggap mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan
negara baru ikut campur tangan hanya kalau usaha-usaha masyarakat yang bersifat
sukarela menemui kegagalan”. Dengan demikian, teori Negara sebagai alat
menempatkan negara pada kedudukannya sebagai pelengkap. Sejauh individu dapat
menjalankan kehidupannya tanpa Negara, kaum liberal menentang keberadaan negara
bahkan jika negara dapat melakukan yang lebih baik dari pada individu.
Selain
itu, konsep hukum dibalik hukum secara langsung diturunkan dari pandangan
kosesual Negara dan masyarakat dalam liberalisme klasik. Masyarakat dipahami
sebagai himpunan bermacam-macam perkumpulan sukarela, dan negara itu juga pada
intinya dianggap sebagai badan yang diorganisasikan secara sukarela, karena
otoritasnya diperoleh atas dasar persetujuan mereka yang diperintah. Liberalisme
selalu menganut pemikiran bahwa hubungan antara Negara dan masyarakat atau
antara pemerintah dan individu pada akhirnya ditentukan oleh hokum yang
kddudukannya lebih tinggi daripada hukum negara.
Paham
kebebasan liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa dan dianggap sebagai paham
yang paling sesuai untuk diterapkan oleh negara-negara yang menjunjung tinggi
kebebasan. Liberalisme muncul sebagai sikap pendobrakan terhadap kekuasaan
absolut dan didasarkan atas teori rasionalistis yang umum dikenal sebagai Social
Contract. Sejak tahun 1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan
yang sangat erat. Gagasan ekonomi
liberal didasarkan pada sebuah pandangan; setiap individu harus diberi akses
seluas mungkin untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa ada
intervensi dan campur tangan dari negara.
Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diperlukan lagi. Bila
liberalisme awal (early liberalism) lebih menekankan pada hak-hak politik, maka
sejak tahun 1900-an, liberalisme telah mencakup hampir seluruh dimensi
kehidupan, termasuk di dalamnya liberalisasi pemikiran.
·
Era
transisi dari politik liberal masuk ke politik etis (1870-1900)
: era dimana Belanda sebagai Negara yang awalnya penganut paham perekonomian
merkantilisme beralih dan mengkristal menjadi politik liberal dan kapitalisme
modern dengan penggunaan teknologi-teknologi yang gaungi oleh revolusi industri
di Inggris dan membolehkan padagang dan saham swasta masuk ke Indonesia dan di
berlakukanya politik pintu terbuka, hal ini terlihat semakin kuat dengan di
bukanya Terusan Suez (1870) sebagai awal imperialisme modern masuk ke kawasan
Asia dengan perekonomian kapitalismenya disertai oleh penggunaan teknologi
mesin kapal uap yang sebagai hasil dari revolusi Industri di Inggris.
·
Era
politik etis itu berlangsung kurang lebih 1900
: dimana gagasan mengenai hutang balas budi mulai sudah berkembang dimana tiga
bidang utama yang di perioritaskan di realisasikan (Irigasi, Edukasi dan
Emigrasi) untuk kesejahteraan Indonesia.
1.3. Latar Belakang
Sosial, Politik dan Ekonomi
Pada awal sebelum dilakukannya politik etis keadaan
sosial dan ekonomi di Indonesia begitu buruk dan jauh dari kata sejahtera
terutama untuk penduduk pribumi yang bukan dari kalangan bangsawan. Pergantian
penguasaan dan kebijakan bukan menjadikan bangsa Indonesia semakin membaik
justru sebaliknya setelah keluarnya VOC dari Indonesia 1799 dengan politik
ekspliotasinya hal itu berganti ke tangan Inggris di bawah Raffles yang semakin
tidak memperhatikan kesejahteraan bangsa Indonesia, ke beralih ke Deandles
dengan poltik kerja paksanya semakin membuat penduduk menderita, jumlah
penduduk yang melek huruf hanya 1% dari seluruh jumlah penduduk yang ada.
Pendidikan bukan menjadi semakin baik justru sebaliknya. Karena kesejahteraan
dapat di laksanakan apabila jumlah orang yang melek huruf semakin banyak. Dari
bidang ekonomi tanah-tanah yang luas masih dikuasi oleh para tuan tanah yang
dimana rakyat biasa hanya sebagai penyewa dan pekerja saja. Karena politik yang
digunakan pada saat itu adalah politik konservatif dimana merkantilisme dan
eksploitasi merupakan hal yang begitu di pentingkan oleh pemerintah kolonial,
timbah pembayaran pajak dan sewa yang begitu besar yang semakin memberatkan
kehidupan masyarakat Indonesia. Namun setelah di berlakukanya politik liberal
1870 pola kesejahteraan berubah terutama untuk pemerintah Belanda di pasar
bebas dan politik pintu terbuka dilaksanakan yang berakibat pada surplus
produksi perkebunan seperti gula 2 kali lipat, seperti tahun 1870 produksi
mencapai 152.595 ton dan pada tahun 1885 di Jawa saja produksi gula mencapai
380.346 ton, selain gula produksi tembakau dan teh pun mancapai surplus, namun
hal ini hanya untuk keuntungan pemerintah Kolonial.
1.4. Penyampaian Kehendak
Politik Kaum Liberal
Gagasan
yang menyuarakan semangat kebangsaan dan kemerdekaan untuk lepas dari
ketertindasan tidak muncul secara tiba-tiba. Menjelang berakhirnya Culturt Stelsel tahun 1870,berkembang
gagasan dan emansipasi dan tuntutan otonomi pemerintahan untuk lepas dari
Negara induk, kerajaan belanda. Gagasan tersebut muncul dari kontradiksi yang
terjadi dalam pemahaman modern atas pengelolaan Negara di Hindia Belanda. Cultur Stelsel dan proses industrialisasi
di Hindia Belanda menjadi sumber keuangan bagi kehidupan Sosial-Ekonomi
kerajaan Belanda. Yang terlupakan adalah pembangunan dan kesejahteraan di tanah
jawa. Muncullah permasalahan sosial yang menyangkut kesejahteraan dan
kemiskinan kaum bumiputera. Sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah colonial
menjadi artikel yang terus muncul di media cetak, terutama yang terkait dengan
pengelolaan anggaran keuangan dan kebijakan perekonomian modern.
Pada
awalnya gagasan ini hanya bergema di kalangan orang0orang Eropa. Hak suara yang
dimiliki setiap orang Belanda., setibanya di Hindia Belanda akan hilang.
Penyampaian kehendak politik hanya dapat disalurkan melalui surat permohonan
dan sering kali tidak ada hasilnya. Di Hindia Belanda, berturut-turut, hirarki
keputusan politik berada di tangan pemerintahan Batavia (departemen dalam
negeri), Bogor (kediaman Gubernur Jenderal), lalu Den Haag (perlemen Belanda).
Hal ini disebabkan adanya peraturan di pasal 111 Regerings Reglement yang melarang setiap perkumpulan, perserikatan,
dan rapat yangbersifat politik.
Kritik
serta penentangan dimasa kebijakan Cultur
Stelsel tercetus di negeri Belanda. Pada tahun 1848, konstitusi liberal
dinegeri Belanda diberikan parlemen Belanda sebuah peranan yang cukup berpengaruh
atas urusan-urusan daerah jajahan segera kelompok oposisi bersatu diparlemen
mengajukan tuntutan perubahan di Hindia Belanda. Mereka terdiri dari kelompok
liberal daan sosial Demokrat. Tuntutan kaum liberal berpijak pada kepentingan
kelas menengah Belanda yang tumbuh besar dari keuntungan perekonomian Belanda
yang diperoleh dari Hindia Belanda. Tuntutan itu berupa pengurangan peranan
pemerintah dalam perekonomian kolonial secara drastis, pembebasan terhadap
batasa-batasan perusahaan di jawa, dan diakhirinya dengan keja paksa dan
penindasan terhadap orang-orang jawa di sunda. Sementara bagi kaum
sosial-demokrat di parlemen, prinsipnya adalah bertujuan meningkatkan
kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk; evolusi ekonomi; serta
pertanggung jawaban moral kepada kaum bumiputera.
Pada
tahun 1860, seorang mantan pejabat kolonial bernama Eduard Douwes Dekker
menerbitkan novel berjudul Max Havelaar di
Belanda. Novel tersebut menceritakan tentang penindasan dan perilaku kurupsi
yang dilakukan pemerintah kolonial beserta aparatnya di jawa. Max Havelaar menjadi senjata yang cukup
berpengaruh untuk menyampaikan gagasan anti –penindasan dikalangan orang-orang
Eropa. Tulisan tentang tuntutan pemenuhan kewajiban moral Belanda terhadap
Hindia pun bermunculan di media massa Belanda. Salah satunya adalah tulisan
Robert Fruin dalam De Gids tahun 1865
yang muncul berupa artikel berjudul “Nederland’s
rechten en verplichtingen ten opzichten van Indie”. Dalam artikel tersebut,
untuk pertamakalinya, praktik saldo laba dalam Cultur Stesel dinyatakan sebagai kebijakan pemerintah yang
berlawananan dengan hukum kedaulatan modern (Belanda). Artikel ini kemudian
mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda yyang mulai bergerak dalm lingkup Politik
Etis. Sa;ah satu tokoh terpenting politik etis yaitu Mr. P. Broosooft.
Berbagai
pemikiran di seputar tuntutan kaum liberal di negeri Belanda hadir secara
berkala di Hindia Belanda lewat surat kabar De
Locomotief. Surat kabar yang berpusat di Semarang ini berdiri pada tahun
1863 dan menjadi harian pada tahun 1870. De
Locomotief merupakan media pertama yang terus menerus menyuarakan politi
etis terhadap negar jajahan dan pemerintah otonom.
P.Broosooft,
redaktur utama De locomotief merupakan bagian dari jringan individu
yang kemudian mengenal gagasan balas budi/etis baik yang berada di Hindia
maupun yang berada di Belanda, seperti Van Deventer, J.H.Abendanon, A.W.J.
Idenburg, Van Limburg Stirum, N.P. Van den Berg, Snouck Hurgronje, H.H. Van
Koll, dan lain-lain. Secara individual jaringan etis melakukan diseminasi
gagasan dalam berbagai bentuk tanpa adanya suatu ikatan organisasi yang
ideologis.
Ada
dua momentum yang menandai bergemanya politik etis pada kebijakan kolonial
Hindia Belanda
·
Pertama, artikel Van
Deventer yang muncul di De Gids tahun 1899, berjudul “Een Eerschuld”
·
Kedua, sebuah brosur
politik yang ditulis Broosooft yang berjudul “De Etische Koers in Koloniale
Politiek” (haluan etis dalam politik kolonial), diterbitkan di Belanda padda
tahun 1901 .
II.2.1 Pengertian
Politik Etis
Politik Etis atau politik balas budi
adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung
jawab moral bagi kesejahteraan kaum bumiputera. Pada bulan januari 1901, didepan
parlemen Belanda dalam sebuah pidato awal tahun Ratu Wilhemina mengumumkan
hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Mindere Welvaarts-Commissie (komisi untuk penyelidikan keadaan
kurang sejahtera) sekaligus pengesahan kebijakan Politik yang diterjemahkan
oleh Gubernur Jenderal Idenburg menjadi program pendidikan, irigasi, dan
emigrasi. Pada tanggal 17 September 1901, ratu menegaskan dalam pidato
pembukaan parlemen Belanda bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral
dan utang budi (een eerschuld) terhadap
bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhemina menuangkan panggilan moral
tadi kedalam kebijakan politik etis, dinyatakan dalam wujud Irigasi, migrasi
dan pendidikan. Pernyataan ratu inilah yang secara resmi dianggap sebagai awal
pelaksanaan politik etis (Etische
Politiek) di Hindia-Belanda. Nama itu berasal dari tulisan Pieter Brooshoft, Die Etische Koers In de Koloniale Politiek,
yang muncul pda tahun 1901. Dalam tulisannya kemiskinan bumi putra tidak hanya
terbatas di pulau jawa, tapi juga seluruh Hindia-Belanda.
II.2.2 Penerapan Politik Etis Di Indonesia
Seiring
dengan hal tersebut, gerakan-gerakan humanis yang berkembang di negeri
Belanda mendorong diberlakukannya
politik balas budi terhadap bangsa Indonesia. Desakan parlemen kepada
pemerintah Belanda untuk menghapus sistem tanam paksa merupakan awal dari
kemenangan terhadap strategi politik yang dijalankan kaum liberal dalam rangka
mencapai kepentingannya di bumi Indonesia.
Sejak
saat itu, modal swasta asing diberikan peluang untuk mewarnai berbagai bidang
usaha, terutama pada perkebunan-perkebunan besar, baik di Jawa maupun di luar
Jawa. Pembukaan perkebunan-perkebunan yang didominasi modal asing, seperti
Belanda dan negara-negara Eropa lainnya memungkinkan dikeluarkan Undang-undang
Agraria dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870.
Dalam realisasinya Undang-undang Agraria itu pun tidak membuat penduduk
pribumi menjadi terbebas dari penderitaan. Bahkan sebaliknya, penduduk pribumi
hanya menjadi alat pihak pemilik modal untuk mencapai keuntungan dan tidak
memperbaiki nasib rakyat Indonesia dari keadaan sebelumnya. Kondisi yang tidak
seimbang tersebut, pada akhirnya mendapat perhatian dari beberapa tokoh Belanda
seperti Baron van Hoevel, Eduard Douwes Dekker,
dan van Deventer. Tokoh-tokoh Belanda tersebut, kemudian mengusulkan
kepada pemerintah Kerajaan Belanda untuk memperhatikan nasib rakyat Indonesia.
Salah
satu politik balas budi tersebut adalah program yang dikemukakan oleh Mr. C.
Th. Van Deventer. Gagasannya yang diterbitkan oleh majalah de Gids pada tahun
1899 memaparkan perlunya bangsa Belanda melakukan balas budi terhadap
Indonesia. Balas budi dilakukan dengan jalan membantu bangsa Indonesia untuk mencerdaskan dan memakmurkan rakyatnya.
Berikut
ini Isi Trilogi van Deventer antara lain:
1) Irigasi
(pengairan),
yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk
mengairi sawah-sawah milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan
penduduk. Belanda dikenal mempunyai keahlian dalam bidang teknologi perairan.
Laut di Belanda dapat di bendung dan dijadikan daerah perkotaan. Belanda memang
terampil dalam hal teknologi dan pengairan. Melalui kebijakan Irigasi, belanda
membangun jaringan irigasi yang diperlukan untuk pengairan teknis sawah dan
perkebunan yang dibangu Belanda. Kebijakan ini sesungguhnya bukanlah sebagai
politi balas budi Belanda, melainkan semaata-mata untuk mengeruk lebih banyak
lagi kekayaan dari daerah jajahan.
2) Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan
pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya
manusia yang lebih baik. Perbaikan sosiall yang Nampak mulai ditanggapi anatara
lain dalam hal pendidikan. Masalah pendidikan (edukasi) hamper tidak tergarap
dan sengaja tidak digarap sebelum politik etis dicetuskan. Hal ini tergambar
dalam tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids (1908) sebagai berikut:
“sampai pada waktu-waktu yang terakhir hampir ada
kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyemprnaan akal budi pekerti bangsa
Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dilakukannya, asal kehidupan
rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah”.
Pelaksanaan
politik etis dibidang pendidikan terutama adalah J.H. Abendanon, yang diangkat
sebagai direktur pendidikan di Hindia imurpada tahun 1900. Dia dan istrinya
banyak memberikan dorongan yang menimbulkan kesadaran kepada para angkatan muda
Indonesia, antara lain pemuda Abduul Muis yang belakangan menjadi pimpinan
Sarekat Islam(SI). Lewat korespondensi dia berhasil mengobarkan semangat
pemikiran Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, yang pada akhirnya
merangsang tumbuhnya sekolah-sekolah untuk kalangan wanita di Indonesia sesuai
dengan semangat politik Etis, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah
sekolah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa
belajar selama 3 tahun. kemudian dilanjutkan dengan program Vervolg School (sekolah lanjutan) dengan
masa belajar selama 2 tahun. Perbikan sarana pengajaran semacam ini lalu
dilanjutkan untuk tahun-tahun selanjutnya, misalnya dinamakan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO),
yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP pada zaman Belanda,
dan program Algemeene Middlebare School
(AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA.
Volk School digalakkan berdasarkan
inisiatif Gubernur Jenderal Van Heutz. Dia menganggap jenis sekolah ini adalah
sekolah yang lebih sederhana dan lebih murah. Van Heutz berkenalan dengan
asisten-asisten Ambarawa, De bruin Prince, yang mendirikan 100 sekolah
diberbagai desa sebagai percobaan. Program pelajarannya meliputi membaca,
menulis dan berhitung dalam bahasa jawa.
Keterampilan tangan seperti membuat
keranjang, pot, genting dan sebagainya, juga diajarkan. Tempat belajarnya
bersifat sementara, yaitu memakai pendapa. Kayu diambil dar hutan yang ditebang
untuk penanaman kopi. Guru-gurunya diambil dari kalangan penduduk sendiri, yang
gaji mereka berupa sebidang tanah untuk digarap. Anak-anak duduk di lantai,
sedangkan bagi nak-anak yang memiliki kewajiban menggembala kerbau, maka selama
belajar (antar pukul 09.00-12.00 dan 13.00-15.00) kerbau-kerbau yang
digembalakan dapat dilepas di sebidang tanah di sebelah tempat belajar yang
dipagari. Dengan memperhatikan gambaran tersebut maka dapat dibayangkan betapa
sederhananya persekolahan yang disebut Volk
School tersebut.
Pada
tahun 1905, tahun pemilihan di Belanda, Van Deventer dan kawan-kawannya menang
dalam parlemen Belanda. Merekapun menjadi pemeran utama dalam pembentukan
cabinet seorang anggota partai Demokral Liberal, D. Fock menjadi menteri
jajahan. Dia bersedian memajukan dan meluaskan pendidikan bagi para pribumi.
Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu
perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (khususnya Pulau Jawa)
ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.
Setelah
melalui perdebatan yang cukup panjang akhirnya politik etis ini mulai
dijalankan d Indonesia menurut tafsiran dan kemauan pemerintah kolonial
Belanda. Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer
tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan
tersebut:
1. Irigasi
Pengairan
(irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta
Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
2. Edukasi
Pemerintah
Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan
tenaga administrasi yang cakap dan murah Pendidikan yang
dibuka untuk seluruh rakyat, hanya
diperuntukkan kepada anak-anak
pegawai negeri dan orang-orang
yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I
untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah
kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3. Migrasi
Migrasi ke
daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan
perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang
besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di
Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain.
a. Diskriminasi
kelas sosial
walaupun sekolah-sekolah tersebut
tampaknya cukup baik, tapi dalam praktiknya, sekalipun tidak secara langsung,
terdapat kecenderungan diskriminasi kecenderungan itu tampak dalam cara menjaring
anak sekolah. caranya ialah dengan memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal
dan juga sering diutamakan bagi keluarga yang memiliki ketuturunan darah biru
(ningrat, keraton) atau dari kalangan para "priayi" (pangreh praja
atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda). itulah sebabnya, banyak anggota
masyarakat yang mampu atau kaya yang dapat menyekolahkan anak-anaknya kejenjang
pendidikan yang cukup tinggi. bagi anggota masyarakat yang kurang berpunya atau
miskin terpaksa tidak dapat memasukkan anak-anaknya kesekolah atau paling tidak
terpaksa mengambil alternatif lain, misalnya memasukkan anak-anaknya ke pondok
pesantren.
Penyimpangn Sosial
b.
Pendidikan menghasilkan tenaga birokrat dan elite baru.
Tujuan penyelenggaraan sekolah yang dilakukan
Belanda tersebut bukan semata-mata untuk memberdayakan pendidikan masyarakat,
tapi juga untuk menghasilakan tenaga birokrat agar dapat di rekrut pada jabatan
jabatan teknis di perintahan kolonial belanda. sebagai contoh, sejak tahun 1864
Belanda telah memperkenalkan sebuah program ujian pegawai rendah yang harus
ditempuh agar seseorang dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah. oleh karena
itu, tampak jelas bahwa bahwa program
untuk menciptakan birokrat rendahan cukup menonjol. Pada tahun 1900 diperkenalkan
sekolah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu sekolah yang
dipersiapkan bagi kalangan pribumi untuk menjadi pegawai pemerintah.
Anak anak pribumi yang pernah bersekolah
di sekolah sekolah Belanda tidak sedikit yang terpengaruh oleh cara cara hidup
kebelanda belandaan dengan segala pariasi hidupnya. oleh karena itu, tidak
heran kalau timbul sekelompok elite baru ditengah tengah masyarakat pribumi. Di
samping itu, karena tempat tempat pendidikan Belanda itu rata rata terpusat
dikota kota, terjadilah urbanisasi kalangan pemuda di pedesaan ke kota kota
untuk belajar disana. kota menjadi makin diminati oleh orang orang dari desa.
Hal yang kurang menguntungkan dari
timbulnya elite baru tersebut adalah adanya kebanggaan kalau di sebut Priyayi
bagi mereka yang dapat masuk kedalam sistem birokrasi pemerintahan Belanda,
sebaliknya masyarkat luas menjadi amat mendambakan status sosial tersebut.
tidak jarang pegawai juru ketik dikantor pemerintahan Belanda sudah disebut
ndara (bahasa jawa) yang menunjukkan sebutan feodal.
Walaupun pemikiran liberalisme di Hindia-Belanda
diawali dengan harapan-harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam
meningkatkan perkembangan ekonomi koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan
rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada akhir abad 19 terlihat jelas
bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih
baik dari sebelumnya. Ini didasarkan karena kecenderungan politik agraria
kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil bumi/bahan mentah
dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga
setinggi-tingginya.
Tetapi Lambat laun program politik etis ini
memberikan manfaat yang sangat besar bagi bangsa Indonesia, terutama dalam hal
program pendidikan (edukasi). Program pendidikan yang awalnya ditujukan untuk
menghasilkan tenaga administratif rendahan, pada akhirnya semakin berkembang.
Tidak hanya jenjang pendidikan semakin tinggi, tetapi juga menjangkau
spesialisasi bidang pendidikan lainnya seperti kedokteran, keguruan, teknik,
pertanian, dan sebagainya. Dengan demikian, masyarakat Indonesia semakin
mengenal pola pendidikan Barat yang pada akhirnya menjadi benih-benih
pergerakan indonesia menuju kemerdekaan.
Tokoh-tokoh Belanda yang Mewarnai
Politik Etis
1. Eduard Douwes Dekker (1820-1887)
Ernest Francois Eugene Douwes
Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan
nasional Indonesia. Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme
Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah
penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama
“Nusantara” sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah
salah satu dari “Tiga Serangkai” pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia,
selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat. Ernest Douwes
Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik etis ini karena
meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah
yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua
penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang
Eropa yang menetap (blijvers) dan Tionghoa.
Eduard Douwes Dekker
atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli adalah penulis Belanda yang
terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas
perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda.
Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran ‘Multatuli’.
Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti “‘Aku sudah menderita cukup
banyak’” atau “‘Aku sudah banyak menderita’”; di sini, aku dapat berarti Eduard
Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di
seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun
beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan. Max
Havelaar bisa jadi buku yang mempengaruhi terlahirnya Politik Etis di Hindia
Belanda kelak.
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli (Sumber: voiceseducation)
2. Pieter
Brooshooft (1845 – 1921)
Brooshooft adalah
seorang wartawan dan sastrawan, yang dikenal sebagai salah satu tokoh Politik Etis.
Tahun 1887 Brooshooft mengadakan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa, lalu
menuliskan laporan tentang keadaaan yang sangat menyedihkan di Hindia Belanda
akibat kebijakan tanam paksa pemerintah. Dia menyampaikan laporan tadi kepada
12 tokoh politisi Belanda terkemuka, disertai lampiran setebal buku yang
memaparkan fakta-fakta yang dicatat dan ditandatangani 1255 orang. Laporan itu
menuntut harus dibentuk sebuah partai Hindia agar kepentingan Hindia Belanda
terwakili di Parlemen. Dilampirkan pula buku Memorie over den toestan in indie
(Catatan tentang keadaan di Hindia), yang mengkritik struktur pajak dan
mengecam sistem bandar.
Tahun 1904 Brooshooft
kembali ke Belanda dalam keadaan kecewa dan putus asa, karena merasa
perjuangannya bagi keadilan terhadap pribumi tidak ada hasilnya. Tajuk Rencana
yang terakhir ditulis berjudul: Pamitan Dengan Orang Sakit, dimuat pada surat
kabar Semarang, De Locomotief, tanggal 31 Desember 1903. Setelah di Belanda,
Brooshooft tetap rajin menulis, antara lain sebuah naskah pentas: Arm Java
(Kasihan, Pulau Jawa), pada 1906. Naskah ini dianggap memiliki benang merah
dengan eksistensi dan riwayat Kartini, sebab di dalamnya ada tokoh Murtinah,
puteri seorang Bupati modern yang telah maju pikirannya. Diceritakan Murtinah
sering menulis dalam majalah-majalah wanita di Belanda dan mengadakan
surat-menyurat dengan teman-teman di negeri itu pula.
Pieter Brooshoft (Sumber: indische-pers)
3. Conrad Theodore
van Deventer (1857-1915)
Van Deventer dikenal
sebagai seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik Etis. Pada sebuah
surat tertanggal 30 April 1886 yang ditujukan untuk orang tuanya, Deventer
mengemukakan perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi karena
mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami Spanyol akibat salah pengelolaan
tanah jajahan. Lalu pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan),
berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Tulisan itu berisi angka-angka
konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang
makmur dan aman adalah hasil kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di
Hindia Belanda (“Indonesia”), sementara Hindia Belanda saat itu miskin dan
terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan.
Ketika Deventer menjadi
anggota Parlemen Belanda, ia menerima tugas dari menteri daerah jajahan
Idenburg untuk menyusun sebuah laporan mengenai keadaan ekonomi rakyat pribumi
di Jawa dan Madura. Dalam waktu satu tahun, Deventer berhasil menyelesaikan
tugasnya (1904). Dengan terbuka Deventer mengungkapkan keadaan yang
menyedihkan, kemudian dengan tegas mempersalahkan kebijakan pemerintah. Tulisan
itu sangat terkenal, dan tentu saja mengundang banyak reaksi pro-kontra. Sebuah
tulisan lain yang tak kalah terkenalnya adalah yang dimuat oleh De Gids juga
(1908) ialah sebuah uraian tentang Hari Depan Insulinde, yang menjabarkan
prinsip-prinsip etis bagi beleid pemerintah terhadap tanah jajahannya.
Theodor van Deventer (Sumber: flickr)
4.
Jacques Henrij Abendanon (1852-1925)
J.H. Abendanon adalah
Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905.
Ia datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900. Ia ditugaskan oleh Belanda untuk
melaksanakan Politik Etis. Di bawah Abendanon, sejak tahun 1900 mulai berdiri
sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata
di daerah-daerah. Pada tahun ini sekolah Hoofdenscholen (sekolah para kepala)
yang lama diubah menjadi sekolah yang direncanakan untuk menghasilkan
pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Opleiding School Voor
Inlandsche Ambtenaren).
J.H. Abendanon
mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A. Kartini
pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot
Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini
ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada
cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Jacques Henrij Abendoon (Sumber: facebook)
BAB
III
Kesimpulan
Telah diketahui bahwa dasar munculnya politik etis
antara lain, berawal dari kemenangan kaum liberalis dalam negeri belanda yang
banyak memberikan pengaruhnya terhadap Negara jajahannya atau koloniya, bukti
nyata dari keberhasilan kaum liberalis di parlemen belanda adalah
dikeluarkannya UU Agraria di Indonesia, yang bentuk nyatanya adalah untuk
memberikan hak kepada penduduk pribumi, seiring munculnya agrarisch wet, muncul
juga agrarische belsuit sebagai penerapan dari agrarische wet, dimana
menentukan domein Negara dalam artian tanah milik pribumi yang tidak bisa
dibuktikan dengan kesaksian orang lain misalnya (adat) maka diakui sebagai
tanah Negara (colonial belanda).
Dengan berlakunya agrarische wet,
membuka peluang pagi perusahaan asing atau pemodal asing untuk membuka
perusahaan perkebunananya di Indonesia dengan cara menyewa kepada penduduk
pribumi, ataupun kepada pemerintah penguasa, dalam peraturanya sewa tanah
dibatasi maksimal 75 tahun. Secara kasat mata ini dipandang menguntungkan
rakyat, dengan asumsi, selain rakyat menyewakan tananhnya kepada pengusaha dan
kemudian bekerja di perusahaan belanda mereka mendapat penghasilan yang banyak
dan dapat sejahtera, tetapi dalam kenyataannya rakyat semakin menderita,
sehingga muncul politik etis yang dimotori oleh van Deventer, (edukasi, irigasi
dan emigrasi). Tetapi dalam perjanannya banyak sekali penyimpangan yang
terjadi. Ini disebabkan karena dalam pelaksanaannya konsep etis tersebut ditafsirkan
sendiri oleh pemerintah belanda.
Prof.Harsono
Budi.1999.Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria.Jakara:Djambatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukan komentar anda