PolitikPintu
Terbuka
Pada tahun 1870 di Indonesia mulai dilaksanakan politik
kolonial liberal yang sering disebut ”Politik Pintu Terbuka (open door
policy)”. Sejak saat itu pemerintahHindia Belanda membuka Indonesia bagi para
pengusaha asing untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan.
Periode antara tahun 1870 -1900 disebut zaman liberalisme.
Pada waktu itu pemerintahan Belanda dipegang oleh kaum liberal yang
kebanyakan terdiri daripengusaha swasta mendapat kesempatan untuk menanam modalnya
di Indonesia dengan cara besar-besaran. Mereka mengusahakan perkebunan
besar seperti perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau,
kelapa sawit dan sebagainya. Mereka juga mendirikan pabrik seperti pabrik
gula, pabrik cokelat, teh, rokok, dan lain-lain.
Pelaksanaanpolitikkolonial
liberal ditandaidengankeluarnyaundang-undang
a. Undang-Undang Agraria
(Agrarische W et) 1870
Undang-undang ini merupakan sendi dari peraturan hukum
agraria kolonial di Indonesia yang berlangsung dari 1870 sampai 1960.
Peraturan itu hapus dengan dikeluarkannya UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria tahun 1960) oleh Pemerintah Republik Indonesia. JadiAgrarische
Wet itu telah berlangsung selama 90 tahun hampir mendekati satu abad
umurnya.W e t itu tercantum dalam pasal 51
dariI n d i s c h e
Staatsregeling,
yang merupakanperaturanpokokdariundang-undangHindiaBelanda.
MenterijajahanBelanda
De Waal, berjasamenciptakan wet ini yang isinya,
antara lain
sebagaiberikut.
Pasal1
:Gubernurjenderaltidakbolehmenjualtanah.
Pasal2
:Gubernurjenderalbolehmenyewakantanahmenurutperaturanundang-undang.
Pasal3 : Denganperaturanundang-undangakandiberikantanah-tanahdenganhak
erfpacht yaituhakpengusahauntukdapatmenyewatanahdarigubernemen paling
lama 75 tahun, danseterusnya.
Undang-undang agraria pada intinya menjelaskan bahwa semua
tanah milikpenduduk Indonesia adalah milik pemerintah kerajaan Belanda. Maka
pemerintah Belanda memberi mereka kesempatan untuk menyewa tanah milik
penduduk dalam jangka waktu yang panjang. Sewa-menyewa tanah itu diatur
dalam Undang-Undang Agraria tahun 1870. Undang-undang itu juga dimaksudkan
untuk melindungi petani, agar tanahnya tidak lepas dari tangan mereka dan
jatuh ke tangan para pengusaha. Tetapi seringkali hal itu tidak diperhatikan
oleh pembesar-pembesar pemerintah.
Dengan dibukanya perkebunan di daerah pedalaman, maka rakyat
di desa- desa langsung berhubungan dengan dunia modern. Mereka mulai
benar-benar mengenal artinya uang. Mereka juga mengenal hasil bumi yang
diekspor dan barang luar negeri yang diimpor, seperti tekstil. Hal ini
tentu membawa kemajuan bagi petani. Sebaliknya usaha bangsa sendiri banyak
yang terdesak, misalnya usaha kerajinan, seperti pertenunan menjadi mati.
Di antara pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan
pabrik-pabrik. Karena adanya perkebunan- perkebunan itu, Hindia Belanda
menjadi negeri pengekspor hasil perkebunan.
b.
Undang-UndangGula (Suiker Wet)
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa tebu tidak
boleh diangkut ke luar Indonesia, tetapi harus diproses di
dalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara
bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga
diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru.
Sejak itu Hindia Belanda menjadi negara produsen hasil
perkebunan yang penting. Apalagi sesudah Terusan Suez dibuka,
perkebunan tebu menjadi bertambah luas, dan produksi gula
juga meningkat.
Terbukanya Indonesia bagi swasta asing berakibat
munculnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia
seperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan
tembakau di Deli, Sumatera Timur, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga
terjadi penanaman modal di bidang pertambangan, seperti tambang timah di
Bangka dan tambang batu bara di Umbilin.
Khusus perkebunan di Sumatera Timur yaitu Deli dan Serdang,
tenaga kerjanyadidatangkan dari Cina di bawah sistem kontrak. Dengan hapusnya
sistem perbudakan, maka sistem kerja kontrak kelihatan sebagai jalan yang
paling logis bagi perkebunan-perkebunan Sumatera Timur, untuk memperoleh
jaminan bahwa mereka dapat memperoleh dan menahan pekerja-pekerja untuk
beberapa tahun.
Dalamtahun
1888 pemerintahHindiaBelandamengeluarkanperaturanpertama
mengenaipersyaratanhubungankerjakulikontrak
di Sumatera Timur yang disebut
(KoelieOrdonnantie).
KoeliOrdonnantie ini, yang mula-mulahanyaberlakuuntuk
Sumatera Timur tetapi kemudian berlaku pula di semua wilayah
Hindia Belanda di luar Jawa, memberi jaminan-jaminan tertentu pada majikan
terhadap kemungkinan pekerja-pekerja melarikan diri sebelum masa kerja
mereka menurut kontrak kerja habis. Di lain pihak juga diadakan
peraturan-peraturan yang melindungi para pekerja terhadap tindakan
sewenang-wenang dari sang majikan. Untuk memberi kekuatan pada
peratuan-peraturan dalam Koeli Ordonnantie, dimasukkan pula
peraturan mengenai hukuman-hukuman yang dapat dikenakan terhadap
pelanggaran, baik dari pihak majikan maupun dari pihak pekerja. Dalam
kenyataan ternyata bahwa ancaman hukuman yang dapat dikenakan terhadap
pihak majikan hanya merupakan peraturan di atas kertas jarang atau tidak
pernah dilaksanakan. Dengan demikian ancaman hukuman untuk
pelanggaran-pelanggaran hanya jatuh di atas pundak pekerja-pekerja perkebunan. Ancaman
hukuman yang dapat dikenakan
Pelaksanaan politik pintu terbuka, tidak membawa perubahan
bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tetap buruk nasibnya. Banyak di
antara penduduk yang bekerja di perkebunan-perkebunan swasta dan
pabrik-pabrik dengan perjanjian kontrak kerja. Mereka terikat kontrak yang
sangat merugikan. Mereka harus bekerja keras tetapi tidak setimpal upahnya
dan tidak terjamin makan dan kesehatannya. Nasib rakyat sungguh sangat
sengsara dan miskin.
Melihatkenyataanitu,
para pengabdikemanusiaan yang dulumenentangtanam paksa,
mendorongpemerintahkolonialuntukmemperbaikinasibrakyat
Indonesia. SudahmenjadikewajibanpemerintahBelandauntukmemajukanbangsa
Indonesia, baikjasmanimaupunrohaninya. Dengandalihuntukmemajukanbangsa
Indonesia itulahkemudiandilaksanakanPolitikEtis.
pada pekerja-pekerja perkebunan
yang
melanggarketentuan- ketentuankontrakkerjakemudian terkenalsebagai poenalesanctie. P o e n a l e
sanctie membuatketentuanbahwa;
pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunan-perkebunan
Sumatera Timur dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke
perkebunan dengan kekerasan jika mereka mengadakan perlawanan.
Lain-lain hukuman dapat berupa kerja paksa pada pekerja-pekerja umum
tanpa pembayaran atau perpanjangan masa kerja yang
melebihiketentuan-ketentuan kontrak kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukan komentar anda