BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Palembang merupakan kota yang strategis di Sumatera
Selatan. Sebagai kota tua, Palembang banyak menyimpan sejarah perjuangan
rakyat. Keberadaan Palembang yang dibagi oleh Sungai Musi menambah
eksotismenya. Ciri khas Kota Palembang sebagai kota yang sangat didominasi oleh
air, bahkan oleh Belanda sebelum Perang Dunia II, pernah dipromosikan sebagai"Venetie
van het Verre Oasten" atau "Venesia dari Timur
Jauh." Kekayaan alam Sumatera Selatan menjadi kebanggaan
sekaligus ancaman dari bangsa asing.
Setelah
Perang Dunia II, Sekutu membonceng NICA ke Indonesia dengan maksud agar Belanda
dapat kembali menguasai Indonesia. Konflik RI dan Belanda semakin menimbulkan
ketegangan. Para pasukan RI, laskar dan rakyat berusaha mempertahankan
Kemerdekaan yang telah dicapai pada 17 Agustus 1945. Usaha untuk mencapai
kepentingan Belanda berlanjut dengan pertempuran besar. Pertempuran besar yang
menentukan antara lain Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Medan Area,
Puputan Margarana dan lain-lain. Di Sumatera Selatan pun terjadi pertempuran
besar yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di
Palembang. Pertempuran ini terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.
Palembang. Pertempuran ini terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.
Pertempuran
Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang tiga matra yang pertama kali
kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut terjadi melibatkan
kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda sangat berkepentingan untuk menguasai
Palembang secara total karena tinjauan Belanda terhadap Palembang dari aspek
politik. ekonomi dan militer. Dalam aspek politik, Belanda berusaha untuk
menguasai Palembang karena ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa
mereka benar-benar telah menguasai Jawa dan Sumatera. Ditinjau dari aspek
ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti juga dapat
menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju dan Sei Gerong. Selain itu, dapat
pula perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan
jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya Paskan TRI dan pejuang yang
dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif mempunyai
persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan-pasukan di luar kota.
Oleh karena itu, jika Belanda berhasil menguasai Kota Palembang secara total,
maka akan mempermudah gerakan operasi militer mereka ke daerah-daerah
pedalaman.
Peranan rakyat sangat besar dalam Pertempuran Lima
Hari Lima Malam. Motivasinya perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan khususnya
para pejuang di daerah Sumatera Selatan yakni adanya "sense to be a
nation," rasa harga diri sebagai suatu bangsa yang telah merdeka. Semboyan
"Merdeka atau Mati" yang berkumandang semasa periode Perang
Kemerdekaan adalah wujud usaha untuk menjaga agar tetap berdirinya Negara
Republik Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Provokasi yang di lakukan Belanda di
Palembang?
2. Bagaimana
front Pertempuran Lima Hari Lima Malam?
3. Bagaimana
Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran Lima Hari Lima Malam?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui Provokasi yang dilakukan Belanda di Palembang?
2. Untuk
mengetahui bagaiman front pertempuran Lima Hari Lima Malam
3. Untuk
mengetahui Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran Lima Hari Lima Malam
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Provokasi Belanda
Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang
Pertempuran Lima Hari Lima Malam memiliki keunikan tersendiri, bila
dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia lainnya yang telah diduduki oleh
Sekutu (NICA), seperti Medan, Padang, Jakarta, Bandung, dan lain-lainnya, yang
masih terdapat pemerintahan RI lengkap dengan pasukan, karena keberhasilan
diplomasi yang dilakukan oleh kepala pemerintah setempat. Setelah Belanda
menggantikan Inggris di Palembang pada 24 Oktober 1946, Kolonel Mollinger
menjadi Komandan territorial Belanda untuk Sumatera Selatan (Palembang,
Lampung, Bangka, dan jambi). Penyerahan pendudukan Inggris kepada Belanda
berlangsung pada 7 November 1946. Setelah menggantikan Inggris, Belanda menuntut
garis demarkasi yang lebih jauh. Untuk mencegah timbulnya insiden dilakukanlah
perundingan antara pihak Belanda dan RI pada November 1946.
Hal terpenting dari perundingan itu antara lain
tentara Belanda tidak akan memperluas atau melewati batas daerah yang
diserahkan kepadanya oleh Inggris dan akan memelihara status quo. Sementara itu
di Palembang mulai dilakukan pengembangan kekuatan militer oleh Pasukan TRI,
sedangkan pihak Belanda giat menyusun posisi dan memperkuat pasukannya di
Palembang.
Pada bulan Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun
pasukan-pasukannya di Kota Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang Belanda
mulai melakukan pencegahan terhadap lalu lintas pelayaran antara Palembang -
Lampung - Jambi - Singapura, yang bertujuan untuk mengadakan blokade ekonomi
dan militer. Blokade bertujuan agar hubungan timbal balik antara Jambi,
Lampung, Palembang dan Singapura terputus sehingga hasil bumi, barang kebutuhan
hidup dan senjata tidak dapat diimpor dan diseludupkan dari Singapura. Dr. A.K.
Gani melakukan kegiatan menembus blokade tersebut untuk memperkuat perjuangan
sehingga dia dijuluki "The biggest smuggler of South East."
Panglima Komando Sumatera, Jendral Mayor Suharjo Harjowardoyo mengeluarkan Perintah Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di Palembang pada akhir Desember 1946 yang ditujukan kepada pasukan-pasukan RI di daerah pendudukan Belanda di Medan, Padang dan terutama yang di Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu instruksi dari pemerintah pusat.
Panglima Komando Sumatera, Jendral Mayor Suharjo Harjowardoyo mengeluarkan Perintah Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di Palembang pada akhir Desember 1946 yang ditujukan kepada pasukan-pasukan RI di daerah pendudukan Belanda di Medan, Padang dan terutama yang di Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu instruksi dari pemerintah pusat.
Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar
Napindo bernama Nungcik ditembak mati karena melewati pos pasukan Belanda di
Benteng. Malam harinya Belanda melanggar garis demargasi yang telah ditentukan.
Dua buah jeep yang dikendarai oleh pasukan Belanda dari Talang Semut melewati
Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang jalan Sudirman). Rumah Sakit Charitas
sambil melepaskan tembakan-tembakan yang membabibuta. Pancingan itu mendapatkan
jawaban dari pasukan RI. Meletuslah pertempuran yang berlangsung sekitar 13 jam
lamanya. situasi Palembang dalam kondisi cease fir. Insiden ini menunjukkan
akan meletusnya perang yang lebih besar, karena Belanda berusaha meningkatkan
pertahanannya.

Provokasi Belanda terus terjadi pada tanggal 31 Desember 1946 menyebabkan insiden dengan pihak TRI yang sifatnya sporadis. Belanda melakukan konvoi dari Talang Semut menuju arah Jalan Jendral Sudirman. Mobil tersebut melaju dengan kencang dan melepaskan tembakan-tembakan. Kontak senjata tidak terelakkan di depan Masjid Agung dan sekitar rumah penjara Jalan Merdeka. Pasukan TRI melakukan pengepungan dan serangan terhadap kekuatan Belanda di Charitas sehingga tidak mungkin Belanda untuk keluar dan menerima bantuan dari luar. Akhirnya Belanda meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol Hasan Kasim) dan Gubernur Sumatera Selatan (dr. M. Isa) untuk menghentikan tembak-menembak (cease fire)
Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi
Belanda adalah untuk menyusun kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda
melakukan serangan udara itu memakan waktu yang relatif singkat, yaitu beberapa
jam sebelum matahari terbenam menjelang malam. Belanda melakukan penembakan
dengan mortir ketempat dimana Pasukan TRI/Lasykar berada yaitu di Gedung
Perjuangan (sekarang pusat perbelanjaan Bandung), di daerah dekat Sungai
Jeruju, daerah Tangga Buntung, dan sebagainya. Dengan demikian telah berakhir
kesepakatan penghentian tembak-menembak oleh Belanda. Insiden-insiden yang
terjadi pada akhir tahun 1946 tersebut menjadikan situasi di Kota Palembang dan
sekitarnya menjadi panas (Perwiranegar, 1987: 58). Insiden yang terjadi
sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan agar
terjadi pertempuran yang lebih besar.
Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul
05.30 pagi, sebuah kendaraan Jeep yang berisi pasukan Belanda keluar dari
Benteng dengan kecepatan tinggi. Mereka melampaui daerah garis demarkasi yang
sudah disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah pesta semalam suntuk merayakan
datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan Tengkuruk membelok
dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam Effendi) lalu menuju Sayangan,
kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas
Pasukan RI/Lasykar seperti Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist,
rumah kediaman A.K. Gani, Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15, dan
Markas Polisi Tentara.
Pada kesempatan yang sama para pemimpin militer dan
Lasykar mengadakan rapat komando untuk menentukan sikap dalam menghadapi
provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan pemerintah sipil Gubernur Muda M.
Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo, Gubernur
Muda M. Isa, maupun Panglima Lasykar 17 Agustus, Kolonel Husin Achmad
menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi Belanda, pihak RI bertindak tidak
lagi sekedar membalas serangan, melainkan harus berinisiatif untuk menggempur
semua kedudukan dan posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor. Kepala staf Devisi
II, Kapten Alamsyah, mengeluarkan perintah "Siap dan Maju" untuk
bertempur menghadapi Belanda.
2.2 Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam
2.2.1. Front Seberang Ilir Timur
Front
Seberang Ilir Timur meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai RS Charitas -
Lorong Pagar Alam - Jalan Talang Betutu - 16 Ilir - Kepandean - Sungai Jeruju -
Boom Baru - Kenten. Pertempuran pertama terjadi pada hari Rabu 1 Januari 1947.
Belanda melancarkan serangan dan tembakan yang terus menerus diarahkan ke
lokasi pasukan RI yang ada di sekitar RS Charitas. RS Charitas berada di tempat
yang strategis karena berada di atas bukit sehingga menjadi basis pertahanan
yang baik bagi Belanda. Daerah Front Seberang Ilir (RS Charitas) menjadi
tanggung jawab dari Komandan Resimen Mayor Dani Effendi. Basis strategi
pertahan di Front Seberang Ilir Timur terutama berlokasi di depan Masjid Agung,
simpang tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang Pasar Cinde), Lorong Candi
Angsoko dan di Jalan Ophir (sekarang Lapangan Hatta).
Dibawah
pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan serangan ke Rumah Sakit
Charitas dan daerah di Talang Betutu. Serangan ini dilakukan bersama dengan
satu kompi dan Batalyon Kapten Animan Akhyat yang bertahan di simpang Jalan
Talang Betutu (Perwiranegara, 1987: 67). Tujuan serangan ini adalah untuk
memblokir bantuan Belanda yang datang dari arah Lapangan Udara Talang Betutu
menuju arah Palembang dan menghalangi hubungan antara pusat pertahanan Belanda
di RS Charitas dengan Benteng.
Pada
sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank dan panser untuk
menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang Jalan Tengkuruk.
Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan Kantor Telepon melalui
perlawanan yang seru dari Pasukan TRI. Dengan berhasilnya Belanda menduduki
Kantor Telepon, maka hubungan melalui alat komunikasi menjadi terputus secara
total. Setelah itu, belanda memperluas gerakannya hingga menduduki Kantor
Residen dan Kantor Walikota. Pasukan TRI yang berada di daerah tersebut
mengundurkan diri ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean sedangkan di RS
Charitas, kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan dari Pasukan TRI.
Pada
pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan terhadap pasukan
dan pertahan Belanda di RS Charitas. Namun, Belanda berhasil menerobos lini
Talang Betutu setelah terlebih dahulu berhadapan dengan Lettu Wahid Uddin
bersama Kapten Anima Achyat. Belanda telah memperkuat tempat-tempat yang telah
mereka kuasai, terutama di depan Masjid Agung. Sementara itu, kapal-kapal
perang (korvet) Belanda mulai hilir mudik di Sungai Musi sambil menembakan
peluru mortirnya kesegala arah. Secara spontanitas, rakyat dan pemuda di dalam
kota dan luar kota turut serta bertempur melawan Belanda. Mobilisasi umum di kalangan masyarakat
agraris-tradisional terus berlangsung untuk menghadapi Belanda. Melihat
kemajuan-kemajuan dipihak kita, Belanda pun segera mengadakan pengintaian,
bahkan melakukan tembakan dari udara terhadap kereta api yang membawa bahan
makanan, bantuan dari Baturaja, Lubuk Linggau, dan Lahat. Rakyat yang berada di
Front Seberang Ilir menjadi sangat menderita karena keterbatasan kesediaan
pangan akibat Sungai Musi dikuasai Belanda dan penembakan kereta api.
Oleh
karena lokasi Markas Besar Staf Komando Divisi II tidak lagi aman, maka
dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di Jalan Duku. Hal
ini disebabkan karena Belanda terus-menerus melakukan pengintaian dan
pengeboman terhadap markas-markas Pasukan TRI/Lasykar. Keberhasilan pengeboman
jarak jauh yang dilakukan Belanda tidak terlepas dari peranan para pengintai
atau mata-mata. Ternyata dalam pemeriksaan dan interogerasi yang dilaksanakan,
memberi banyak petunjuk bahwa pihak Belanda secara licik menggunakan warga kota
keturunan Tionghoa sebagai informan mereka, disamping sebagai pelayan kegiatan
ekonomi bagi kepentingan Belanda. Kapten Alamsyah Ratu Perwiranegara menilai
bahwa kasus mata-mata ini sangat sensitif, ia segera memerintahkan Letnan Dua
Asmuni Nas untuk merazia dan menyita semua telepon yang digunakan oleh
keturunan Tionghoa di sepanjang Pasar 16 Ilir.
Pertempuran
hari ketiga berlangsung pada hari Jum'at, tanggal 3 Januari 1947. Saat itu,
Kolonel Mollinger memerintahkan angkatan perangnya (Darat, Laut, dan Udara)
untuk menghancurkan semua garis pertahanan Pasukan TRI/Lasykar. Ini menunjukan
terjadinya konsep perang tiga matra yang dilakukan Belanda di Palembang.
Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja keluar dari
Benteng menuju RS Charitas menerobos Jalan Tengkuruk, melepaskan tembakan di
sekitar Masjid Agung dan Markas BPRI. Gerakan penerobosan Belanda ke Charitas
itu dihambat oleh pasukan kita yang berada di Pasar Cinde dengan ranjau-ranjau,
manun gagal karena ranjau-ranjau tersebut gagal meledak. Akibatnya Pasar
Lingkis (Cinde) dapat dikuasai oleh musuh. Tapi, sore harinya pasar itu dapat
dikuasai kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII). Senjata dan amunisi yang
dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata yang
digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of date) sebagai hasil
rampasan dari serdadu Jepang (Abdullah, 1996: 43). Sampai hari ketiga, keadaaan
Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota telah hancur terkena
serangan bom dan peluru mortir Belanda.
SUMBER PHOTO : palembangtempodulu.multiply.com
Kehancuran Kota Palembang karena bom-bom Belanda tersebut ditambah lagi dengan adanya aksi bumi hangus, seperti jembatan kayu di 24 Ilir, atas perintah Kepala Pertahanan Divisi II, Kapten Alamsyah. Pembongkaran ini dimaksudkan agar jembatan tidak digunakan oleh Belanda untuk menerobos dari arah Bukit Kecil menuju Charitas. Bahka, perintah yang benar-benar ditakuti Belanda adalah "aksi bumi hangus Plaju dan Sungai Gerong."
Pada pertempuran hari keempat (4 Januari 1947), Belanda menfokuskan pertahanan di Plaju. Sehingga pasukan Mayor Dani Effendi berhasil memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai Charitas dan sekitarnya. Akibatnya pasukan Belanda mulai terdesak. Pasukan TRI berhasil mendekati gudang amunisi di RS Charitas dan menembak serdadu Belanda yang berusaha mendekati gudang tersebut.
Pada 5 Januari 1947, pihak Belanda
dapat menguasai beberapa tempat dengan bantuan kapal-kapal perang yang hilir
mudik di Sungai Musi dan pesawat terbang yang menjatuhkan bom-bom ke arah
posisi Pasukan TRI. Namun demikian pasukan Belanda mengalami hal yang sama
dengan Pasukan TRI yaitu letih, kurang tidur dan merasa stress, sedangkan
Pasukan TRI telah banyak menderita kerugian baik dari materi ataupun yang gugur
dan luka-luka
2.2.2. Front Seberang Ilir Barat
Front Seberang Ilir Barat meliputi kawasan mulai dari 36 Ilir yaitu meliputi Tangga Buntung - Talang - Bukit Besar - Talang Semut - Talang Kerangga - Emma Laan - Sungai Tawar - Sekanak - Benteng. Markas Batalyon 32 Resimen XV Divisi II dipimpin Makmun Murod yang berda di Front Seberang Ilir Barat, yaitu di Sekanak. Komandan Resimen XV dan Komandan Batalyon 32/XV beserta para perwira yang berada di markas, sibuk mengatur pertahanan dan merencanakan untuk menyerang benteng-benteng pertahanan Belanda. Suara tembakan yang saling bersahutan sudah semakin gencar diselingi oleh dentuman senjata-senjata berat yang ditembakan dari pos-pos dan gedung-gedung pertahanan Belanda ke arah kubu pertahana Pasukan TRI dan barisan pertahanan rakyat.
Pada pertempuran yang terjadi pada
tanggal 1 Januari 1947, pasukan-pasukan disekitar belakang Benteng mulai
terdesak lalu mengundurkaan diri ke sekitar Jalan Kelurahan Madu dan Jalan
Kebon Duku. TRI/Lasykar yang berlokasi di Bukit terpaksa mengubah taktik yaitu
memencarkan diri masuk ke kampung-kampung di sekitar Bukit Siguntang dan
sekitarnya. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah pasukan Belanda yang akan
menerobos ke 35 Ilir. Karena apabila pasukan Belanda yang akan beroperasi di 36
Ilir, Suro, 29 Ilir dan Sekanak akan terkepung. Usaha pasukan TRI dibawah
pimpinan Mayor Surbi Bustam dilakukan untuk menyerang Gedung BPM Handelszaken.
Serangan ini dibantu oleh Kapten Makmun Murod, Letnan Satu Asnawi Mangkualam
dan Kapten Riyacudu. Dalam pertempuran tersebut, seorang prajurit yang
diketahui pemuda keturunan Tionghoa, Sing, tertembak dan gugur. Belanda dengan
menggunakan kendaraan berlapis baja dan persenjataan modern berhasil menguasai
Kantor Pos, Kantor Telegraf, Kantor Residen, Kantor Walikota dan di sekitar
Jalan Guru-guru di 19 Ilir.
Secara keseluruhan, pertempuran pada
hari pertama tersebut, inisiatif sepenuhnya berada di tangan Pasukan TRI dan
pejuang. Belanda dengan segala kemampuannya berusaha mempertahankan pos-pos
pertahanan dan kedudukannya sambil terus malancarkan tembakan-tembakan ke arah
pasukan yang menyerang. Pasukan Belanda boleh dikatakan tidak berani keluar
dari kubu pertahannya, terutama yang berkududkan di Seberang Ilir, karena
gencarnya serangan Pasukan TRI dan Lasykar. Pasukan Belanda hanya membalas
tembakan dari tempat perlindungan, dengan memuntahkan peluru mortir dan dengan
tembakan howitzer untuk sasaran jarak jauh.
Belanda menerapkan sistem pertahanan
saling dukung antar pos-pos mereka. Jika satu tempat pertahanan terkepung oleh
Pasukan TRI, maka dalam waktu singkat mendapat bantuan dari kubu pertahanan
Belanda lainnya. Bantuan sering berupa tembakan, mortir atau howitzer atau
dukungan tembakan dari kapal perang De Ruiter. Kapal perang Belanda memang
hilir mudik di Sungai Musi, khususnya jenis korvet.
Pada pertempuran hari kedua, Belanda
menembakan mortirnya dengan membabibuta ke arah Sekanak sampai ke Tangga
Buntung. Tujuan utama adalah menembaki markas batalyon dan pos-pos pertahanan TRI
dan rakyat yang terdapat antara Sekanak sampai Tangga Buntung. Tidak dapat
dihindari lagi peluru tersebut telah mengenai daerah pemukiman penduduk.
Gencarnya tembakan yang dilakukan Belanda dari benteng pertahanan dan dan
pesawat udara pada 2 Januari 1947 menyebabkan Staf Komando Batalyon 32/XV oleh
Mayor Zurbi Bustam bersama Kapten Makmun Murod dipindahkan ke Talang. Daerah
Suro dan Talang Kerangga pada saat itu tidak luput dari serangan musuh.
Dengan dorongan semangat dan do'a, Pasukan TRI tetap berusaha untuk mempertahankan diri. Penambahan pasukan terjadi melalui Batalyon Ismail Husin dari Lampung yang berhasil menyeberang melalui Tangga Buntung. Rakyat atau penduduk sipil pun ikut serta memberikan bantuan tenaga. Keterbatasan senjata tidak membuat pasukan kita menyerah. "molotov" adalah bensin yang dimasukan ke dalam botol dicampur dengan karet untuk kemudian diberi sumbu memjadi alat yang sangat efisien. Kapten Alamsyah memerintahkan Sersan Mayor M. Amin Suhud untuk mencuri persediaan bensin Belanda yang akan digunakan untuk membuat bom molotov. Sersan Mayor M. Amin Suhud mendapatkan bensin. Kesulitan bahan makanan dialami oleh Front Seberang Ilir Barat karena blokade yang dilakukan oleh Belanda. Dalam kondisi demikian, bantuan bahan makanan dari dapur umum di garis belakang yang dikirim ibu-ibu dan remaja puteri sangat berarti. Begitu pula peran anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan PPI (Pemuda Puteri Indonesia) yang mengurus korban pertempuran dan mengurus bahan makanan.
Dengan dorongan semangat dan do'a, Pasukan TRI tetap berusaha untuk mempertahankan diri. Penambahan pasukan terjadi melalui Batalyon Ismail Husin dari Lampung yang berhasil menyeberang melalui Tangga Buntung. Rakyat atau penduduk sipil pun ikut serta memberikan bantuan tenaga. Keterbatasan senjata tidak membuat pasukan kita menyerah. "molotov" adalah bensin yang dimasukan ke dalam botol dicampur dengan karet untuk kemudian diberi sumbu memjadi alat yang sangat efisien. Kapten Alamsyah memerintahkan Sersan Mayor M. Amin Suhud untuk mencuri persediaan bensin Belanda yang akan digunakan untuk membuat bom molotov. Sersan Mayor M. Amin Suhud mendapatkan bensin. Kesulitan bahan makanan dialami oleh Front Seberang Ilir Barat karena blokade yang dilakukan oleh Belanda. Dalam kondisi demikian, bantuan bahan makanan dari dapur umum di garis belakang yang dikirim ibu-ibu dan remaja puteri sangat berarti. Begitu pula peran anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan PPI (Pemuda Puteri Indonesia) yang mengurus korban pertempuran dan mengurus bahan makanan.
Pada hari ketiga, pertempuran tiga
matra yang dilakukan oleh Belanda semakin aktif, setelah dikeluarkan perintah
oleh Kolonel Mollinger untuk menghancurkan garis pertahanan RI di Emma Laan
(Jalan Kartini) dan Sekolah MULO Talang Semut. Pasukan TRI yang dibawah
pimpinan Letda Ali Usman berhasil menghancuran sekitar 3 regu Pasukan Belanda
yaitu Pasukan Gajah Merah (Perwiranegara, 1987: 75). Belanda tidak tinggal
diam, segera membalas serangan di Emma Laan. Sehingga pada pertempuran hari
keempat, Sabtu tanggal 4 Januari 1947, Pasukan TRI/Lasykar terdesak sehingga
mundur ke arah Kebon Gede,Talang dan Tangga Buntung.
Sebagai resiko perjuangan dari
bangsa yang baru merdeka, maka setiap gerakan pasukan musuh berakibat pada
pemindahan dislokasi pasukan. Walaupun situasi pertempuran selalu dilaporkan
kepada komando pertempuran. Namun laporan tersebut mengalami keterlambatan
akibat sulitnya hubungan komunikasi.
Pada hari kelima pertempuran di
Front Seberang Ilir Barat terus berlangsung, walaupun Pasukan TRI/Lasykar dan
rakyat mulai menampakkan keletihan dan pengiriman makanan dari dapur umum mulai
tidak teratur lagi akibat blokade Belanda. Sebenarnya blokade ini juga
berdampak pada pihak Belanda juga karena bahan makanan dari luar kota sulit
masuk ke Kota Palembang.
2.2.3. Front Seberang Ulu
Front Seberang Ulu meliputi kawasan
mulai dari 1 Ulu Kertapati sampai Bagus Kuning, selanjutnya meliputi kawasan
Plaju - Kayu Agung - Sungai Gerong. Untuk tanggung jawab pertahanan dan
keamanan di daerah Palembang Ulu dibebankan kepada Batalyon 34 Resimen XV
dengan Komandan Batalyon Kapten Raden Mas yang bermarkas si sekolah Cina 7 Ulu
(sekarang SHD), yang melakukan perlawanan di Kertapati sampai Plaju.
Pada awal pertempuran tanggal 1
Januari 1947, tembakan mortir dari pasukan Belanda yang dberada di Bagus Kuning,
Plaju dan Sungai Gerongterus ditujukan ke markas batalyon yang dipimpin Kapten
Raden Mas. Namun demikian, kapal perang Belanda yang berada di Boom Plaju atau
Sungai Gerong belum dapat bergerak leluasa, karena dihambat oleh pasukan ALRI
di Boom Baru.
SUMBER PHOTO :
palembangtempodulu.multiply.com
Lokasi di perairan Sungai Musi sebelum pertempuran merupakan salah satu tempat berlangsungnya aktivitas perekonomian. Namun ini berbeda pada hari pertama pertempuran. Motorboat milik Belanda melaju dari arah Plaju menuju Boom Yetty yang diduga membawa bahan persenjataan pasukan Belanda, Pasukan TRI berusaha menyerang namun tidak berhasil.
Kompi I yang berkedudukan di Jalan Bakaran Plaju, dipimpin Lettu Abdullah di Jalan Kayu Agung dan Sungai Bakung diberi tugas untuk menghadapi Belanda. Begitu juga Kompi II yang dipimpin Letda Sumaji bertugas menghadapi Belanda di Bagus Kuning dan Sriguna, sedangkan Kompi II dibawah pimpinan Letda Z. Anwar Lizano bertugas menghadapi Belanda di pinggir Sungai Musi yang letaknya sejajar dengan Boom Yetty sampai Pasar 16 Ilir. Pertempuran yang telah terjadi menimbulkan semangat patriotisme di kalangan pasukan TRI. Bantuan pasukan segara menuju Palembang. Letkol Harun Sohar telah melepaskan pemberangkatan pasukan menuju Kertapati dan Lahat dengan menggunakan kereta api.
Kelelahan pasukan Belanda dimanfaatkan oleh Letnan Dua S. Sumaji yang merencanakan serbuan dini hari, pada tanggal 2 Januari 1947. Pasukannya dibantu dari Lasykar Pesindo, Napindo dan Hizbullah. penyerbuan tersebut membuahkan hasil. Pasukan TRI/Lasykar dapat menguasai gudang-gudang persenjataan musuh, sedangkan pasukan Belanda mengundurkan diri ke kapal-kapal perang mereka. Bendera Belanda si tiga warna yang terpancang di depan asrama telah diturunkan, kemudian dirobek warna birunya dan dinaikkan kembali dengan keadaan si Dwiwarna, Sang Saka Merah Putih. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama pasukan Belanda kemudian melepaskan tembakan-tembakan mortir ke arah kedudukan Pasukan TRI/Lasykar.
Setelah Komandan Mollinger
mengeluarkan perintah kepada seluruh unsur kekuatan darat, laut dan udara.
Belanda untuk meningkatkan gempuran dan berusaha menerobos setiap garis
pertahanan TRI dan badan-badan perjuangan rakyat. Pewasat-pesawat terbang dan
kapal-kapal perang Belanda semakin menggiatkan aksinya, terutama di
daerah-daerah yang menjadi tempat bertahan pasukan-pasukan TRI yang berada di
Seberang Ulu dan Ilir. Kapal perang jenis korvet menembakan mesin kesepanjang
Sungai Musi terutama di pos-pos pertahanan RI, terutama yang berlokasi di
sekitar 7 Ulu.
Akibatnya Pasukan TRI dan Lasykar terpaksa membalas dengan menggunakan senjata bekas persenjataan Jepang, yaitu meriam pantai milik kompi III Batalyon 34 di 7 Ulu di tepi Sungai Musi. Dengan menggunakan senjata seperti itu, pasukan Hizbullah dibawah pimpinan Letkol (Lasykar) M. Ali Thoyib berhasil menembak sebuah motorboat Belanda yang sedang mengangkat amunisi milik Belanda dari Plaju menuju ke Benteng. Serangan terhadap motorboat Belanda mengakibatkan kemarahan pasukan Belanda. Mereka membalas dengan mengirim pesawat Mustang dan secara terus-menerus menhujani basis pasukan di 7 Ulu dengan tembakan bertubi-tubi selama dua jam. Hal ini menimbulkan korban yang besar di kalangan Pasukan TRI/Lasykar dan rakyat. Bantuan terhadap pasukan Front Seberang Ulu datang dari Lahat dan Baturaja dikirim ke Bagus Kuning.
Pada tanggal 4 Januari 1947 di Front Seberang Ulu pasukan Belanda semakin memperhebat tekannya terhadap pasukan RI sehingga pasukan TRI yang berada di Bagus Kuning mengundurkan diri ke 16 Ulu. Kapal-kapal perang Belanda melakukan patroli mulai dari perairan Sungai Gerong di bagian Hilir sampai ke perairan Kertapati, Keramasan di bagian Hulu. Pada hari kelima, tanggal 5 Januari 1947, pasukan kita dalam keadaan lelah, sekalipun hal itu tidak mengendorkan semangat perjuangan.
2.3 Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran
Sejak tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah menerima kedatangan Kapten A.M. Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo, yang mengabarkan tentang keinginan Mollinger untuk berunding. Ternyata Gubernur Muda telah menerima berita dari Jakarta lewat telegram yang diterima oleh pemancar darurat dibawah pimpinan Herry Salim, bahwa akan datang ke Palembang secepatnya Dokter Adnan Kapau Gani sebagai utusan pemerintah pusat untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan pihak Belanda.
Perundingan ini dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan strategis dengan alasan:
- pertama, mencegah korban lebih banyak
- kedua, kita perlu mengadakan konsolidasi kekuatan
kembali
- ketiga, dari segi politis akan memberikan
gambaran kepada dunia internasional bahwa RI cinta perdamaian, sekaligus
menegaskan bahwa pemerintah pusatnya dipatuhi oleh daerah-daerahnya.
Perhitungan yang melandasi berunding dari pihak RI adalah berdasarkan: - Pertama, perjuangan kemerdekaan akan memakan
waktu cukup lama, mungkin bertahun-tahun.
- Kedua, hampir 60% pasukan RI di Sumatera Selatan
berada di Kota Palembang, bila sampai bertempur habis-habisan akan
memperlemah kekuatan pada masa selanjutnya.
Setelah
itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang melakukan pejajakan perundingan.
Mereka adalah dr. M. Isa, Gubernur Muda yang mewakili Pemerintah Sipil; Mayor
M. Rasyad Nawawi, Kepala Staf Divisi Garuda II yang mewakili pasukan-pasukan
dari Komando Pertempuran dan Komisaris Besar Polisi, Mursoda, yang mewakili
Kepolisian (Perikesit, 1995: 69)
Perundingan
antara RI - Belanda dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 1947, di Rumah Sakit
Charitas. Formasi delegasi pun ditambah dengan Kolonel Bambang Utoyo, Komandan
Divisi Garuda II, yang ditunjuk sebagai Ketua dan Mayor Laut A.R. Saroingsong.
Pertemuan dengan pihak Belanda sebenarnya telah mereka nanti-nantikan, sebab
posisi Belanda benar-benar terjepit dan belum bisa mengadakan link up. Mereka
masih terkurung dalam kubu per kubu yang terpisah satu sama lainnya.
Dalam
perundingan tersebut pihak Belanda menuntut Kota Palembang dikosongkan dari
seluruh pasukan TRI. Namun hal itu ditolak oleh delegasi RI. Pihak RI bersedia
menarik TRI dan Lasykar dari kota, tapi ALRI, Kepolisian dan Pemerintahan Sipil
tetap berada di dalam kota. Dengan alasan bahwa ALRI tidak mempunyai hubungan
dengan Angkatan Darat. Adapun maksud tersembunyi adalah Pasukan ALRI yang
tinggal di Kota Palembang akan menjadi penghubung dan mata-mata, disamping
Polisi dan Pemerintahan Sipil, guna mengawasi kegiatan Belanda.
SUMBER PHOTO
: palembangtempodulu.multiply.com
Akhirnya Pertempuran Lima Hari Lima Malam diakhiri dengan gencatan senjata (cease fire) antara kedua belah pihak, dimana TRI/Lasykar harus kelur dari Kota Palembang sejauh 20 Kilometer kecuali Pemerintah Sipil RI dan ALRI masih tetap berada di dalam kota. Sedangkan pos-pos Belanda hanya boleh sejauh 14 Km dari pusat kota. Jalan raya di dalam kota dijaga pasukan Belanda dengan rentang wilayah 3 Km ke kiri dan kanan jalan. Hasil perundingan ini selanjutnya segera disampaikan ke markas besar TRI di Yogyakarta.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Pertempuran Lima Hari Lima Malam merupakan upaya yang dilakukan Pasukan TRI, Lasykar dan Rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan di Kota Palembang. Dalam pertempuran itu, pihak lawan menguasai udara dan perairan (air and sea superioritary). Karena superioritas itulah mereka dapat bertahan dan disinilah pula terletak kelemahan kita serta tidak mempunyai perhubungan yang modern.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam merupakan upaya yang dilakukan Pasukan TRI, Lasykar dan Rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan di Kota Palembang. Dalam pertempuran itu, pihak lawan menguasai udara dan perairan (air and sea superioritary). Karena superioritas itulah mereka dapat bertahan dan disinilah pula terletak kelemahan kita serta tidak mempunyai perhubungan yang modern.
Pertempuran
Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan pertempuran tiga matra dan perang
terbesar dan terlengkap yang pertama kali kita alami. Namun pihak kita hingga
akhir pertempuran masih dapat bertahan berkat semangat pengorbanan jiwa, jihad
dan patriotisme yang besar dari para pejuang dan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah,
Djohan,dkk. 2001.Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan di Kota Palembang.
Palembang
Yusuf, Syafruddin,M.Pd. dkk. 2003.Sejarah
dan Peranan SUBKOSS Dalam Perjuangan Rakyat SUMBAGSEL (1945 – 1950).
Palembang : CV. Komring Jaya Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukan komentar anda