Sabtu, 15 Maret 2014

KERAJAAN MEDANG





KERAJAAN MEDANG









DAftar isi

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Perumusan Masalah
1.3  Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Awal mula Kerajaan Medang
2.2  Pergeseran Kerajaan Medang di Jawa Tengah ke Jawa Timur
2.3  Pendiri Kerajaan Medang di Jawa Timur
2.4  Perkembangan keadaan sosial Ekonomi pada masa Pu Sindok berdasarkan Prasasti-Prasasti
BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan
3.2  Saran
DAFTAR PUSTAKA










BAB I
Pendahuluan
1.1  Latar belakang
Selintas kerajaan-kerajaan hindu di Indonesia pada sepuluh abad pertama tidak banyak diketahui. Sempat tercatat bahwa yang terkuat dan terbesar pada masa itu adalah Kerajaan Sriwijaya. Ilmu pengetahuan dan budaya Sriwijaya pun berada pada tingkat yang paling tinggi. Banyak ilmuwan Cina yang datang berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya untuk menuntut ilmu di sekolah pendeta budha. Di abad ke-8 dan 9, ketika kekuasaan para raja Sriwijaya merentang hingga kepulau jawa, terimbas pula pada perkembangan kesenian di jawa ke tingkat yang sama tinggi ( Suyono. 2004:1).
Akibat rentang kekuasaan Kerajaan Sriwijaya samapi kepulau jawa yang mengakibatkan kekuatan Sriwijaya melemah akibat semakin kuatnya kerajaan jawa yaitu Mataram pada saat itu. Kerjaan Mataram yang menjadi semakin kuat tidak menyia-nyiakan kelemahan dari Kerajaan Sriwijaya, akhirnya Kerajaan Mataram mengakhiri keperkasaan Kerajaan Sriwijaya ( Suyono. 2004:2).
Pada masa ini diduga Kerajaan Mataram beribukotakan Medang. Kira-kira berada didataran prambanan. Berdasarkan penemuan beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa Kerajaan Medang atau Medang Kamulan Terletak di Jawa Timur, yaitu di muara sungai Brantas, ibukotanya bernama Watan Mas. Kerajaan ini didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Namun, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu Sindok mencakup daerah Nganjuk sebelah barat, daerah pasururan di sebelah timur, daerah Surabaya di sebelah utara, dan daerah Malang di sebelah Selatan. Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan mencakup hampir seluruh wilayah jawa timur ( http:// goenaar.blogspot.com. di akses pada 3 november 2012). 
 
 
 
1.2  Rumusan Masalah
1.         Bagaimana awal proses berdirinya kerajaan Medang?
2.         Faktor apa yang menyebabkan kerajaan Medang di Jawa Tengah bergeser ke Jawa Timur?
3.         Siapa tokoh utanma pendiri Kerajaan Medang di Jawa Timur?
 
1.3  Tujuan
1.      Awal proses berdirinya kerajaan Medang,
2.      Faktor penyebab bergesernya kerajaan Medang di Jawa Tengah ke Jawa Timur.
3.      Tokoh pendiri kerajaan Medang di Jawa Timur.
 
 












BAB II
Pembahasan

2.1 Awal mula Kerajaan Medang
Selintas kerajaan-kerajaan hindu di Indonesia pada sepuluh abad pertama tidak banyak diketahui. Sempat tercatat bahwa yang terkuat dan terbesar pada masa itu adalah Kerajaan Sriwijaya. Ilmu pengetahuan dan budaya Sriwijaya pun berada pada tingkat yang paling tinggi. Di abad ke-8 dan 9, ketika kekuasaan para raja Sriwijaya merentang hingga kepulau jawa, terimbas pula pada perkembangan kesenian di jawa ke tingkat yang sama tinggi ( Suyono. 2004:1).
Akibat rentang kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang sampai kepulau jawa, hal ini mengakibatkan kekuatan Sriwijaya melemah karena semakin kuatnya kerajaan-kerjaan yang ada di jawa yang mendapatkan pengaruh dari Kerajaan Sriwijaya itu sendiri. Yaitu Mataram adalah salah satu Kerjaan yang menjadi semakin kuat. Dengan semakin kuatnya matara, raja yang memerintah pada saat itu tidak menyia-nyiakan kelemahan dari Kerajaan Sriwijaya, akhirnya Kerajaan Mataram mengakhiri keperkasaan Kerajaan Sriwijaya ( Suyono. 2004:2).
Kerajaan Medang atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Berdasarkan penemuan beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara Sungai Brantas. Ibukotanya bernama Watan Mas. Kerajaan itu didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu Sindok mencakup Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di sebelah timur, Surabaya di sebelah utara, dan Malang di sebelah selatan. Dalam perkembang-an selanjutnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan mencakup hampir seluruh wilayah Jawa Timur (http://suwandi-sejarah.blogspot.com. Di akses pada 4 November 2012).  
2.2 Pergeseran kerajaan Medang di Jawa Tengah ke Medang Jawa Timur
Pada abad ke 10, Kerajaan Mataram berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. 2 faktor yang melatarbelakangi perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur adalah yang  pertama Perebutan kekuasan antara para pangeran di Kerajaan Mataram Kuno ketika Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu (Wawa) berkuasa. Perebutan kekuasan tersebut menyebabkan perang antar para pangeran, sehingga Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah menjadi kacau dan hancur. Setelah hancur, kerajaan ini dibangun kembali di Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Sedangkan untuk faktor yang  adalah Selain perebutan kekuasaan antara para pangeran di Kerajaan Mataram Kuno, (diduga) Kerajaan Mataram Kuno berpindah karena bencana alam, yakni letusan gunung merapi, sehingga secara fisik Kerajaan Mataram Kuno hancur. Kerajaan ini hancur dan dibangun kembali di Jawa Timur oleh Mpu Sindok (http://suwandi-sejarah.blogspot.com. Di akses pada 4 november 2012). 
               Pada masa pemerintahan Dyah Wawa, antara 928-29 M, terjadi sebuah bencala besar: meletusnya Gunung Merapi. Letusan gunung ini membawa malapetaka yang mematikan: gempa bumi, banjir lahar, hujan abu, dan batu-batuan yang mengerikan menimpa apa pun yang berada di sekitarnya, termasuk wilayah Bhumi Mataram yag berada di sebelah baratdaya gunung tersebut. Kerusakan akibat letusan Merapi yang melanda ibukota Medang, yakni Bhumi Mataram, menyebabkan kerabat istana dan rakyat yang selamat mengungsi ke wilayah timur. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa Bhumi Mataram itu terletak di sekitar Magelang (di sini kini masih terdapat sebuah desa bernama Medangan), Jawa Tengah; ada pula yang menduga di sekitar Yogyakarta; dan ada pula yang menganggap bahwa wilayah Temanggung, Magelang, Bantul, Sleman, dan Klaten (kelimanya berada di Magelang dan Yogyakarta) merupakan wilayah budaya Bhumi Mataram (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012). 
 
                Di wilayah timur ini, ada wilayah Kanuhuruhan yang penguasanya tunduk kepada Bhumi Mataram. Maka, Pu Sindok pun leluasa membangun ibukota baru di Tamwlang, sekitar Jombang sekarang, Jawa Timur. Keterangan ibukota di Tamwlang ini terdapat di Prasasti Turyyan. Sesuai pengetahuan kosmogonis pada masa itu, Pu Sindok merasa perlu mendirikan wangsa baru dengan tempat-tempat pemujaan baru, karena menilai peristiwa meletusnya Gunung Merapi sebagai kehancuran dunia (pralaya) pada akhir masa Kaliyuga. Dalam dunia kosmogonis masyarakat Jawa silam, bila seorang raja hancur oleh serangan raja lain atau oleh bencana alam, maka periode itu disebut pralaya dan telah ditentukan oleh Dewa yang dipercaya sebagai pemberi segala kebaikan dan keburukan (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).    
                Rupanya, kerajaan baru yang didirikan Pu Sindok tetap bernama Medang I Bhumi Mataram, seperti yang termaktub dalam Prasasti Paradah yang bertarikh 865 Saka (943 M) dan Prasasti Anjukladang yang bertahun 859 Saka (937 M). Prasasti Turyyan bertahun 851 Saka (929 M) memberitakan bahwa ibukota pertama dari Medang versi Pu Sindok adalah Tamwlang (“sri maharaja makadatwan I tamwlang”). Di sini jelas bahwa Pu Sindok telah mengangkat diri sebagai raja baru yang berpusat di Tamwlang. Kini, di Kab. Jombang, Jawa Timur, terdapat Desa Tambelang di wilayah kecamatan yang bernama Tambelang juga, yang mana nama desa atau kecamatan itu kemungkinan besar dulunya tq1bernama Tamwlang. Tak ada data tertulis lain yang menyebut nama Tamwlang selain prasasti ini (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).         
               Setelah dari Tamwlang, berdasarkan Prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang, ibukota kerajaan lalu berpindah ke Watugaluh, masih sekitar Jombang. Prasasti Anjukladang yang bertahun 937 M menginfromasikan bahwa istana Medang dipindahkan ke wilayah Watugaluh, di tepi Kali Brantas, masih di sekitar Jombang di mana sekarang terdapat kecamatan bernama Megaluh. Hingga kepindahan ke Watugaluh pun, jelas Pu Sindok tak berniat mendirikan kerajan baru. Ini terlihat dari kalimat pada Prasasti Turyyan bahwa “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh”. Tulisan ini menunjukkan bahwa ibukota telah berpindah dari Tamwlang ke Watugaluh. Prasati Paradah juga mengatakan: “mdang i bhumi mataram i watugaluh.” Maka dari itu tak berlebihan bila kita menyebut kerajaan dengan ibukota baru ini dengan sebutan Medang i Bhumi Mataram i Watugaluh, yang bisa diartikan sebagai “Medang (yang dulu) di Bhumi Mataram (sekarang berada) di Watugaluh, atau bisa sebagai kerajaan “Medang i Bhumi Mataram (dengan ibukota baru) di Watugaluh (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).           
                Pembacaan J.G. de Casparis terhadap Prasasti Anjukladang melahirkan dugaan bahwa pernah ada serbuan dari Malayu ke Jawa. Diberitakan, tentara Malayu bergerak sampai dekat Nganjuk, Jawa Timur, namun berhasil dihalau oleh pasukan Mataram di bawah Pu Sindok langsung yang ketika itu belum menjadi raja (mungkin masih berada di Tamwlang atau mungkin pula masih menjadi pejabat di Bhumi Mataram). Atas jasanya yang begitu besar terhadap kerajaan, Pu Sindok diangkat menjadi raja (apakah ketika masih di Tamwlang atau sudah Watugaluh?). Namun, teks pada Prasasti Anjukladang belum terbaca seluruhnya. Dalam transkripsi Casparis, yang lebih komplit pembacaannya ketimbang transkripsi Brandes, dterangkan bahwa di tempat Sang Hyang Prasada itu dibangun pula jayastambha, yaitu tugu kemenangan (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).       
               Hampir tidak adanya prasasti mengenai peristiwa politik dan militer pada masa Pu Sindok bukan berarti bahwa pada masa pemerintahan Pu Sindok tidak ada penaklukan atau peperangan terhadap dengan kerajaan lain. Prasasti Waharu dan Sumbut memungkinkan bahwa pernah terjadi peperangan sebagai usaha penaklukan Pu Sindok terhadap kerajaan-kerajaan kecil pun. Fakta bahwa pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah menggambarkan bahwa pada masa Pu Sindok banyak terjadi penyerang musuh ke dalam ibukota tersebut yang bias dikatakan sebagai bentuk keperkasaan dinasti yang dipimpinnya (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).    
2.3 Pendiri Kerjaan Medang di Jawa Timur ( Medang Kemulan)     
                Pu Sindok (sering ditulis Mpu Sindok) sebenarnya merupakan kerabat Kerajaan Medang Bhumi Mataram di Jawa Tengah (lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Dirinya menjabat sebagai Rakryan Mapatih i Hino pada masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa yang memerintah di Kerajaan Medang i Bhumi Mataram selama 928-929 Masehi. Sebelum masa Rakai Dyah Wawa, yakni pada masa pemerintahan Rakai Layang Dyah Tlodhong atau Tulodong (919-?), Pu Sindok telah menjabat sebagai Rakryan Mapatih i Halu. Jabatan-jabatan seperti itu dipastikan hanya boleh diduduki oleh keluarga atau kerabat istana. Ia bisa putra mahkota, menantu raja, adik, paman, kemenakan, yang masih memiliki hubungan darah dengan raja. Dengan demikian, Mpu sindok masih memiliki keturunan bangsawan atau keturunan dari kaum birokrat pada masa itu (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012). 
                Wangsa yang didirikan Pu Sindok disebut Wangsa Isana. Istilah Wangsa Isana tertera dalam Prasasti Pucangan, prasasti yang dikeluarkan Raja Airlangga pada 963 Saka (1041 M). Prasasti yang berbahasa Sansekerta ini dimulai dengan penghormatan terhadap Brahma, Wisnu, Siwa, yang disusul dengan penghormatan terhadap Raja Airlangga pribadi. Selanjutnya dimuat silsilah Raja Airlangga, mulai dari Raja Sri Isanatungga atau Pu Sindok. Sri Isanatunggawijaya, yang menikah dengan Sri Lokapala, dan memiliki anak bernama Sri Makutawangsawarddhana, dan disebut sebagai keturunan Wangsa Isana. Dengan membaca teks Prasasti Pucangan, dapat diperoleh keterangan bahwa pendiri Wangsa Isana adalah PuSindok Sri Isanawikramma Dharrmotunggadewa (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).
               Posisi Pu Sindok dalam silsilah keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram memang dipenuhi kontroversi. Poerbatjaraka menilai bahwa Pu Sindok adalah menantu Dyah Wawa, berdasarkan Prasasti Cunggrang yang menyebut “sang siddha dewata rakryan bawa yayah rakryan binihaji sri parameswari dyah kebi” (yang telah diperdewakan, Rakryan Bawa, ayah Sri Parameswari Dyah Kebi. Rakryan Bawa diidentifikasikan oleh Poerbatjaraka sebagai Rakai Sumba Dyah Wawa. Poerbatjaraka juga mengemukakan alasan lain, bahwa Pu Sindok bergelar abhiseka yang mengandung unsur kata dharma, yang menurutnya menunjukkan bahwa raja yang gelarnya begitu naik takhta karena perkawinan. Selain itu tertulis juga nama Rakryan Bawang Dyah Srawana yang bisa juga dianggap ayah Dyah Kebi sebagai bangsawan pada masa itu (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012). 
               Akan tetapi, Stutterheim membantah pendapat Poerbatjaraka dengan mengatakan bahwa pertama: nama Bawa harus dibaca Bawang, karena jelas ada anuswara di atas huruf wa. Lagi pula, Raja Wawa tak pernah bergelar Rakai atau Rakryan Wawa, melainkan Rakai Sumba atau Rakai Sumba Pangkaja Dyah Wawa. Selain itu, kata kbi pada prasasti itu harus diartikan “nenek”. Jadi, Sutterheim menyimpulkan bahwa yang diperdewakan di Cunggrang tak lain adalah Rakryan Bawang Pu Partha, nama yang selalu muncul dalam prasasti-prasati keluaran Rakai Kayuwangi, ayah dari nenek Pu Sindok. Nenek Pu Sindok adalah permaisuri Daksa, yang disebut dalam Prasasti Limus (Sugih Manek) bertahun 837 Saka (915 M). Jadi, Pu Sindok adalah cucu Daksa. Dengan begitu, Pu Sindok memang pewaris sah dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram di Jawa Tengah, tanpa harus menikah dengan seorang putri raja mana pun (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012). 
 
2.4 Perkembangan Keadaan Sosial Ekonomi pada Masa Pu Sindok Berdasarkan Prasasti-prasasti 
               Masa pemerintahan Pu Sindok, yang dimulai sekurang-kurangnya sejak 929 M hingga 948 M, banyak meninggalkan peninggalan berupa prasasti, sekitar 20 prasasti, yang sebagian besar tertuang pada batu. Hal ini cukup menggembirakan karena dari benda-benda tersebutlah kita bisa mengetahui kondisi sosial ekonomi pada masa bersangkutan. Pun bukti-bukti tersebut menggambarkan bahwa masa pemerintahan Pu Sindok adalah masa yang cenderung damai di mana banyak diberlakukan sima, wilayah swatantra yang dibebaspajakkan oleh Negara (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
       Menurut C.C. Berg, prasasti yang dibuat atas titah Pu Sindok tersebut berasal dari zaman Dharmmawangsa Airlangga. Raja ini memerlukan legitimasi dari rakyatnya dengan memakai nama Pu Sindok sebagai wangsakara atau leluhurnya pendiri Wangsa Isana sekaligus keturunan istana Mataram Jawa Tengah sebelumnya. Berdasarkan pemikiran itu, maka C.C. Berg berpendapat bahwa tak ada tokoh bernama Pu Sindok dalam sejarah Jawa, ia hanyalah sosok khalayan. Alasan yang dikemukakan Berg adalah karena prasasti-prasasti itu strukturnya sama saja dan membosankan. Namun, sebagian ahli keberatan atas anggapan Berg tersebut. Keberatan itu dikarena atas fakta bahwa memang prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh seorang raja memiliki kesamaan ciri-ciri, yang membedakannya dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja sebelum dan sesudahnya. Perlu juga dikemukakan bahwa pendarmaan Pu Sindok tercantum dalam Prasasti Kamalagyan dan Prasasti Pucangan, yakni Isanabhawana. Jadi, jelas bahwa pendapat Berg tak dapat dipertahankan, karena tak mungkin seseorang didarmakan bila orang bersangkutan tak pernah hidup dalam sejarah umat manusia (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Bila prasasti-prasasti peninggalan Pu Sindok dibaca, maka akan diketahui bahwa isinya sebagian besar memberitakan penetapan sima bagi suatu bangunan suci, yang kebanyakan dilakukan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Wilayah yang ditetapkan atas perintah raja sendiri menjadi sima hanyalah Desa Linggasutan dan sawah kakatikan(?) di Anjuklandang. Dalam Prasasti Linggasutan yang bertarikh 815 Saka (929 M) disebutkan bahwa raja telah memerintahkan agar Desa Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung, dengan penghasilan pajak sebanyak 3 (?) emas dan kewajiban kerja bakti seharga 2 masa setiap tahunnya, ditetapkan sebagai sima dan dipersembahkan kepada bhatara di Walandit untuk membiayai biaya pemujaan terhadap Bhatara i Walandit (Bhatara di Walandit) setiap tahunnya (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Prasasti Anjukladang bertarikh 859 Saka (937 M) memberitakan bahwa Raja Pu Sindok telah memerintahkan tanah sawah kakatikan di Anjukladang untuk dijadikan sima, dan dipersembahkan kepada Bhatara di Sanghyang Prasada Kabhaktyan di Sri Jayamerta, darma dari Samgat Anjukladang. Kerusakan pada bagian atas dari prasasti ini membuat kita tak tahu apa jasa penduduk Desa Anjukladang sehingga mendapatkan anugerah raja pada masa kepemimpinannya (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Nama Bhatara i Walandit pun dijumpai pada Prasasti Muncang bertahun 866 Saka (944 M). Prasasti ini memperingati perintah raja dalam menetapkan sebidang tanah di sebelah selatan pasar di Desa Muncang yang termasuk wilayah Rakryan Hujung, menjadi sima oleh Samgat (…) Dang Acarya Hitam, untuk mendirikan prasada kebhaktyan bernama Siddhayoga, tempat para pendeta melakukan persembahan kepada Bhatara setiap hari, dan mempersembahkan bunga kepada Bhatara di Sang Hyang Swayambhuwa di Walandit (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Tampaknya Rakryan Hujung, yang bernama Pu Madhuralokaranjana, lumayan besar perannya dalam bidang keagamaan. Dalam Prasasti Gulung-gulung bertarikh 851 Saka (929 M) Rakryan Hujung memohon kepada raja agar diperkenankan menetapkan sawah di Desa Gulung-gulung dan sebidang hutan di Bantara sebagai sima. Permohonan ini bertujuan menjadikan sawah dan hutan tersebut sebagai dharmmaksetra (tanah wakaf) bagi bangunan suci Rakryan Hujung yaitu mahaprasada di Himad. Penghasilan sawah tersebut juga diperuntukkan bagi persembahan kepada Sang Hyang Kahyangan di Pangawan, berupa seekor kambing dan 1 pada beras, yang diadakan setahun sekali pada waktu ada upacara pemujaan bagi Bhatara di Pangawan itu. Hal ini disebabkan, dahulu di Kahyangan di Pangawan itu ada di Gunung Wangkedi. Oleh karena itu, sebenarmya hanya ada satu bhatara dipuja, baik di Pangawan maupun di Himad. Bila di Pangawan tengah diadakan pemujaan, Himad mengikuti apa yang terjadi di Pangawan, begitu pun sebaliknya. Pemujaan di kedua bangunan suci itu dilakukan pada tiap equinox, yakni pada saat matahari melintasi garis khatulistiwa pada Maret dan September. Dalam Prasasti Gulung-gulung terdapat pula beberapa nama tempat sima lainnya, yaitu di Batwan, di Guru, di Air Gilang, di Gapuk, dan di Mbang (?), yang juga wajib memberikan persembahan kepada Sang Hyang Prasada di Himad pada tiap equinox, dengan perincian kewajiban masing-masing daerah tersebut (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
            Dalam Prasasti Jeru-jeru bertarikh 852 Saka (930 M), Rakryan Hujung memohon raja agar diperkenankan menetapkan Desa Jeru-jeru, yang merupakan anak Desa Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung sendiri, menjadi tanah wakaf berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung, yaitu Sang Sala di Himad. Permohonan tersebut dikabulkan sang raja (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
          Bangunan suci di Walandit yang memperoleh beberapa daerah atas persetujuan dan perintah Pu Sindok, ternyata masih ada ketika zaman Majapahit. Hal ini dinyatakan dalam Prasasti Himad/Walandit, yang meski tak berangka tahun namun dikeluarkan pada waktu Gajah Mada menjabat rakryan mapatih di Jenggala dan Kadiri. Prasasti ini menyebutkan persengketaan antara penduduk Desa Walandit dengan penduduk Desa Himad mengenai status dharma kabuyutan di Walandit, yang oleh penduduk Walandit dianggap swatantra dan mereka berhak penuh atas Desa Walandit, sebagaimana telah dikukuhkan oleh prasasti yang bercap kerajaan Pu Sindok (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Casparis berpendapat bahwa Walandit kini terletak di Desa Wonorejo, Kec. Pakis, Kab. Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, Desa Wonorejo bernama Desa Walandit, dan pada awal abad ke-20 peta topografi buatan Belanda (1918-1923) dijumpai dukuh bernama Blandit yang termasuk wilayah Desa Wonorejo. Jadi, bila Prasasti Pucangan menyebutkan sang hyang swayambhuwa, bangunan suci itu diidentifikasikannya dengan suatu candi untuk pemujaan Gunung Bromo, karena Swayambhuwa tak lain nama dari Dewa Brahma, dan kenyataannya bahwa Desa Wonorejo terletak tak seberapa jauh dari Gunung Bromo yang seperti kita ketahui adalah salah satu gunung berapi di Indonesia  (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Penetapan sima atas permohonan pejabat atau rakryan dijumpai dalam beberapa prasasti lain. Misalnya, penetapan sebidang sawah di Desa Paradah menjadi sima kabikuan oleh warga Wahuta di Paradah. Pembelian sawah dan tanah pagagan di Taging di Desa Paradah oleh Sang Sluk untuk dijadikan sima dan dipersembahkan kepada Sang Hyang Dharmma Kamulan, merupakan tindakan amal Sang Sluk (i punya sang sluk) dan agar hendaknya turun-temurun pada anak cucu cicit piutnya. Ada pula permohonan Dang Acaryya (?) kepada raja untuk mengukuhkan status sima kabikuan di Poh Rinting. Juga penetapan sebidang sawah kakatikan di Desa Hering yang masuk wilayah Margganung, tetapi di bawah kekuasaan Wahuta Hujung, dan tanah perumahan sebagai sima oleh Samgat Margganung Pu Danghil bagi sebuah biara yang telah dibeli oleh Pu Danghil dan istrinya yang bernama Dyah Pendel seharga 16 suwarna emas. Ada pula kegiatan amal persembahan Dapungku I Manapujamna berupa sebidang sawah untuk dijadikan sima bagi Sang Hyang Prasada Kabhaktyan di daerah Pangurumbigyan di Kampak (angka tahun di Prasasti Kampak tak bisa terbaca) (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Prasasti Turyyan berangka tahun 851 Saja (929) memberitakan permohonan Dang Atu Pu Sahitya dalam usaha memperoleh sebidang tanah bagi pembuatan bangunan suci. Permohonannya dikabulkan raja. Dang Sahitya pun memperoleh sebidang sawah di Desa Turyyan yang menghasilkan pajak sebesar 2 suwarna emas. Pajak yang dihasilkan Desa Turyyan setahun adalah 1 kati dan 2 suwarna emas: yang 3 suwarna itulah yang dianugerahkan kepada Dang Atu Pu Sahitya. Pajak tersebut ditambah dengan sebidang tanah tegalan di sebekah barat sungai dan tanah di sebelah utara pasar Desa Turyyan. Ada pun tempat di sebekah barat sungai itu dipergunakan untuk mendirikan bangunan suci, dan penduduknya hendaknya bekerja bakti membuat bendungan terusannya sungai tadi, mulai dari Air Luah; sedangkan tanah di sebelah utara pasar itu untuk kamulan dan pajak yang 3 suwarna emas itu, sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci. Selebihnya tanah tersebut dijadikan tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu. Prasasti Turyyan hingga kini masih berada di tempat aslinya, yaitu Dukuh Watu Godeg, Kel. Tanggung, Kec. Turen (dari kata Turyyan tentu), Kab. Malang, Jawa Timur. Belum ada penelitian yang berusaha mengungkapkan di mana letak bendungan (atau waduk?) di masa Pu Sindok itu (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Prasati lain, yaitu Prasasti Wulig bertahun 856 Saka (935 M) memberikan peringatan pembuatan bendungan. Prasasti ini memuat perintah Rakryan Binihaji Rakryan Mangibil—tampaknya istri atau salah satu selir Pu Sindok, kepada Samgat Susuhan agar memerintahkan penduduk Desa Wulig (Pangiketan, Padi Padi, Pikatan, Panghawaran, dan Busuran) untuk membuat bendungan, dengan peringatan hendaknya jangan ada yang berani mengusiknya atau menyatukan bendungan itu (?) tidak … di waktu malam, dan mengambil ikannya di waktu siang. Pada 8 Januari 935 M, Rakryan Binihaji meresmikan ketiga bendungan yang ada di Desa Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
                Ada pula nama permaisuri Pu Sindok yang lain yang juga namanya tertera pada prasasti, yaitu Rakryan Sri Parameswari Sri Warddhani Pu Kbi. Prasasti-prasasti tersebut adalah Prasasti Geweg tahun 855 Saka (933 M) dan Prasasti Cunggrang bertahun 851 Saka (929 M). Pada Prasasti Geweg disebutkan pula nama suaminya, Rakryan Sri Mahamantri Pun Sindok (belum bergelar maharaja). Sedangkan dalam Prasasti Cunggrang, permaisuri itu bergelar Rakryan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kbi. Stutterheim berpendapat bahwa Dyah Kbi atau Pu Kbi bukanlah permaisuri Pu Sindok, melainkan neneknya. Akan tetapi, Poesponegoro (2008: 192) keberatan atas pendapat Stutterheim tersebut karena melihat adanya istilah binihaji dan parameswari sebagai gelar Pu atau Dyah Kbi (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Prasasti Cunggrang memuat perintah Pu Sindok dalam menetapkan Desa Cunggrang yang masuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan langsung Wahuta Wungkal, dengan penghasilan pajak sebanyak 15 suwarna emas, dan kewajiban kerja bakti senilai dua kupang, dan katik sebanyak … orang, untuk menjadi sima bagi pertapaan di Pawitra dan bagi bangunan suci tempat pemujaan arwah Rakryan Bawang yang telah diperdewakan, yaitu ayah dari permaisuri raja yang bernama Dyah Kebi (sang hyang prasada silunglung sang siddha dewata rakryan bawang, ayah dari rakryan binihaji sri parameswari dyah kbi). Kewajiban penduduk daerah yang dijadikan sima itu adalah memelihara pertapaan dan prasada, juga memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra (umahayua sang hyang tirtha pancuran pawitra) (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Dikabarkan pula ada sawah pakarungan (?) di Pamuatan seluas 2 suku (jung), dan di Kasungkan seluas 2 suku, serta katik sebanyak … orang, sebagai augrah raja kepada permaisurinya, yang ikut dijadikan sima sebagai sumber pembiayaan pemujaan arwah mertua (Rakryan Bawang) di Prasada, dan biaya pemujaan di pertapaan di Tirtha pada tanggal 3 setiap bulannya, dan biaya persembahan caru setiap harinya. Dengan ditetapkannya Desa Cunggrang sebagai sima punpunan, ia tidak lagi diperintah oleh Rakryan Bawang Watu (atau Rakryan Jasun Wungkal). Dengan menganggap Dyah Kebi sebagai permaisuri Pu Sindok, besar kemungkinan bahwa Rakryan Bawang, ayah sang permaisuri, adalah Rakryan Bawang Dyah Srawana yang dijumpai pada prasasti-prasasti Raja Rakai Watukura Dyah Balitung (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Ada pula penetapan sima yang bukan atas perintah raja, melainkan oleh Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpah. Ia menganugerahkan sebidang sawah di (?) yang termasuk wilayah Kanuruhan kepada Sang Bulul agar digunakan untuk menanam bunga-bungaan, sebagai tambahan kepada alamnya (?). tampaknya Sang Buhul telah bernazar demikian, maka pada waktu ia memohon kepada Rakryan Kanuruhan untuk melaksanakan nazarnya itu, permohonannya dikabulkan, malah Rakryan Kanuruhan menambahinya. Peristiwa ini diperingati dengan Prasasti Kanuruhan bertahun 856 Saka (935 M) yang dipahatkan di belakang sandaran sebuah arca Ganesha, dan keadaannya terputus di bagian atas sebelah kiri (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Prasasti-prasasti peninggalan Pu Sindok tak ada yang memuat peristiwa politik pada masa pemerintahannya. Bila pun ada, itu samar-samar dan terdapat dalam prasasti tembaga yang tinulad, yakni yang diturunkan pada tahun-tahun kemudian. Prasasti yang menyentil masalah politik di antaranya Prasasti Waharu IV tahun 853 Saka (931 M), yang menyatakan bahwa penduduk Desa Waharu telah mendapatkan anugerah raja karena penduduk desa tersebut di bawah pimpinan Buyut Manggali senantiasa berbakti kepada raja, ikut berusaha agar raja memang dalam peperangan, dengan mengerahkan senjata, tanpa ingai siang-malam dalam mengikuti balatentara kerajaan, sambil membawa panji dan segala macam bunyi-bunyian, pada waktu raja hendak membinasakan musuh-musuhnnya yang dianggap sebagai perwujudan kegelapan (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).     
               Prasati Sumbut bertahun 855 Saka (933 M), yang tak kumplit, hanya dua lempeng pertama saja, memberikan informasi bahwa Pu Sindok telah menganugerahkan Desa Sumbut sebagai sima kepada Sang Mapanji Jatu Ireng, yang tekah berjasa ikut menghalau musuh bersama penduduk desa tersebut dengan tujuan agar kedudukan raja di atas singgasana dapat langgen (http://djatiesampoerno.weebly.com di akses pada 5 november 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukan komentar anda